Melihat potret pendidikan
kita selama paling tidak satu dekade ini, sulit untuk tidak mengatakan bahwa
pendidikan kita saat ini sesungguhnya dalam krisis. Setelah hasil Uji Kompetesni
Guru jeblog, lalu rangkaian tawuran melanda sekolah dan kampus dengan korban
tewas berjatuhan,
Salah satu yang banyak dikeluhkan
walimurid adalah kurikulum yang overloaded, pembelajaran
yang direduksi menjadi drills dan try-outs
dengan tes-tes berformat pilihan-ganda yang dilakukan bahkan jauh sebelum
Ujian. Kemudian anak-anak ini harus les berbayar hingga malam. Begitulah pendidikan
di sekolah-sekolah sudah terdisorientasi hanya sekedar untuk menguasai
kompetensi tingkat rendah yang tidak penting bagi kehidupan abad 21.
Sementara
pembelajaran sudah menjadi sekedar strategi untuk lulus ujian, guru semakin
mengalami krisis kepercayan dari murid-muridnya sendiri saat mereka sibuk di
berbagai lembaga "bimbingan tes". Krisis ini memperparah kenyataan
bahwa guru telah dibiarkan lama terbengkalai bertahun-tahun, dan upaya
perbaikan guru tidak dilakukan dengan sungguh-sungguh. Kemudian guru kehilangan
kepercayaan dari Pemerintahnya sendiri saat kewenangan penentuan kelulusan
murid-muridnya dirampas untuk diserahkan pada mesin pemindai Ujian Nasional yang
dikoordinasikan oleh Jakarta. Berikutnya adalah sekolah kehilangan kepercayaan
bahkan dari murid-muridnya sendiri saat mereka harus berpaling ke lembaga-lembaga
kursus untuk lulus Ujian Nasional, padahal kebocoran soal UN terjadi di
mana-mana.
Saat sekolah mulai
kehilangan kepercayaan dari masyarakatnya, Kemendikbud justru merancang
pembelajaran yang semakin lama di sekolah. Dengan guru seburuk saat ini, dan sarana
belajar seterlantar saat ini, berlama-lama di sekolah justru semakin buruk bagi
murid. IKIP sudah sepuluh tahun lebih tidak yakin lagi untuk focus pada
khittahnya mendidik calon guru Indonesia. Kemudian IKIP berubah menjadi universitas,
mengurusi bidang-bidang non-kependidikan yang sudah diurus oleh unversitas lain
yang sudah bertahun-tahun lebih dulu menekuninya. Sebelum menjadi universitas,
IKIP dalam kondisi hidup segan mati tak mau, dan setelah menjadi unversitas
kematiannya diresmikan. Sementara
itu, di luar kelaziman, sertifikasi guru telah berlangsung dilakukan oleh LPTK
eks-IKIP. Padahal sebagai profesi, pembinaan guru seharusnya diserahkan pada organisasi
profesi guru. Best practice nya demikian untuk profesi-profesi lain seperti
dokter, insinyur, arsitek, pengacara dan akuntan. Sertifikasi guru harus
dilakukan oleh organisasi profesi guru, bukan oleh LPTK, apalagi Pemerintah.
Untuk menjadi profesi yang terpercaya, guru harus disertifikasi oleh lembaga
yang independen dan mandiri agar guru tidak mudah dipolitisasi dan diintimidasi
oleh birokrasi dan partai politik. Organisasi profesi guru inilah yang
menetapkan kode etik guru dan menegakkan etika profesi guru.
Dalam situasi banyak guru yang
bermental pegawai, tidak mandiri dan tidak kompeten, serta sarana sekolah yang seadanya,
pergi ke sawah membantu ayah bercocok tanam, atau melaut mencari ikan jelas
lebih berguna daripada ke sekolah. Lebih banyak yang bisa dipelajari anak di
alam terbuka daripada di ruang-ruang kelas yang sempit, kumuh dan bocor :
keberanian, kepatuhan, ketrampilan, dan kecintaan pada lingkungan. Menghadapi
guru dengan mentalitas pegawai, murid-murid itu justru belajar menjadi penakut,
sementara kreativitinya dikerdilkan. Kita membutuhkan guru baru, bukan
kurikulum baru. Kurikulum terbaik sekalipun pasti akan gagal di tangan guru yang tidak kompeten. Sebaliknya, di tangan guru yang kompeten, kurikulum yang sederhana akan menghasilkan proses belajar yang bermutu.
Patut disesalkan jika alih-alih
secara konsisten memberi kepercayaan dan menguatkan profesi guru, Kemendikbud justru
bermain-main dengan otak-atik kurikulum baru, sementara kurikulum yang
sebelumnya (Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan -KTSP) tidak dievaluasi secara transparan
dan akuntabel. Kurikulum yang dialami (learned curriculum) murid
tidak pernah bisa lebih baik dari mutu guru yang melaksanakannya.
Tentu jelas otak-atik kurikulum jauh lebih mudah dilakukan daripada memperbaiki mutu guru dan
menjadikannya sebagai profesi yang independen. Kurikulum yang terbaik bagi anak
adalah kehidupan seharihari yang meneladankan cara hidup yang baik di luar sekolah : sehat, jujur,
adil dan produktif. Sesungguhnyalah belajar bertujuan hanya satu : memperbaiki
praktek kehidupan sehari-hari, membentuk tradisi baru yang lebih baik. Jika
belajar adalah perayaan atas kehidupan anugerah Tuhan, maka belajar akan
membentuk budaya baru sebagai proses memaknai kehidupan. Anak petani menjadi petani
yang lebih baik dari ayahnya. Anak nelayan menjadi nelayan yang lebih baik dari
ayahnya. Perempuan muda menjadi ibu yang lebih baik dari ibunya. Jika kita
mengharapkan sebuah bonus demografi dalam beberapa dekade mendatang ini,
perombakan besar pada filosofi, tata kelola, kebijakan, dan program pendidikan perlu
dengan berani dilakukan. Di zaman internet ini, belajar semakin tidak
memerlukan sekolah. Yang kita perlukan adalah sebuah jejaring belajar (learning
webs) yang lentur dan luwes di mana pembelajar bisa belajar di mana saja
dan kapan saja serta dengan siapa saja sebagai bagian dari hidup berbudaya. Pendidikan universal tidak mungkin dilakukan melalui pendekatan persekolahan belaka.
Jika guru tidak berubah, dia akan menjadi dinosaurus, negeri ini akan menjadi
Jurassic Park.
Sumber :
Rosyid, Daniel. 2014. Belajar,
bukan sekolah : Agenda deschooling untuk Indonesia.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar