Selasa, 31 Mei 2016

Guru Baru, bukan Kurikulum Baru

Melihat potret pendidikan kita selama paling tidak satu dekade ini, sulit untuk tidak mengatakan bahwa pendidikan kita saat ini sesungguhnya dalam krisis. Setelah hasil Uji Kompetesni Guru jeblog, lalu rangkaian tawuran melanda sekolah dan kampus dengan korban tewas berjatuhan,
belum lagi hasil evaluasi internasional yang menempatkan kinerja pendidikan Indonesia di papan bawah, Kemendikbud merespons dengan ide merombak kurikulum.

Salah satu yang banyak dikeluhkan walimurid adalah kurikulum yang overloaded, pembelajaran yang direduksi menjadi drills dan try-outs dengan tes-tes berformat pilihan-ganda yang dilakukan bahkan jauh sebelum Ujian. Kemudian anak-anak ini harus les berbayar hingga malam. Begitulah pendidikan di sekolah-sekolah sudah terdisorientasi hanya sekedar untuk menguasai kompetensi tingkat rendah yang tidak penting bagi kehidupan abad 21. 

Sementara pembelajaran sudah menjadi sekedar strategi untuk lulus ujian, guru semakin mengalami krisis kepercayan dari murid-muridnya sendiri saat mereka sibuk di berbagai lembaga "bimbingan tes". Krisis ini memperparah kenyataan bahwa guru telah dibiarkan lama terbengkalai bertahun-tahun, dan upaya perbaikan guru tidak dilakukan dengan sungguh-sungguh. Kemudian guru kehilangan kepercayaan dari Pemerintahnya sendiri saat kewenangan penentuan kelulusan murid-muridnya dirampas untuk diserahkan pada mesin pemindai Ujian Nasional yang dikoordinasikan oleh Jakarta. Berikutnya adalah sekolah kehilangan kepercayaan bahkan dari murid-muridnya sendiri saat mereka harus berpaling ke lembaga-lembaga kursus untuk lulus Ujian Nasional, padahal kebocoran soal UN terjadi di mana-mana. 

Saat sekolah mulai kehilangan kepercayaan dari masyarakatnya, Kemendikbud justru merancang pembelajaran yang semakin lama di sekolah. Dengan guru seburuk saat ini, dan sarana belajar seterlantar saat ini, berlama-lama di sekolah justru semakin buruk bagi murid. IKIP sudah sepuluh tahun lebih tidak yakin lagi untuk focus pada khittahnya mendidik calon guru Indonesia. Kemudian IKIP berubah menjadi universitas, mengurusi bidang-bidang non-kependidikan yang sudah diurus oleh unversitas lain yang sudah bertahun-tahun lebih dulu menekuninya. Sebelum menjadi universitas, IKIP dalam kondisi hidup segan mati tak mau, dan setelah menjadi unversitas
kematiannya diresmikan. Sementara itu, di luar kelaziman, sertifikasi guru telah berlangsung dilakukan oleh LPTK eks-IKIP. Padahal sebagai profesi, pembinaan guru seharusnya diserahkan pada organisasi profesi guru. Best practice nya demikian untuk profesi-profesi lain seperti dokter, insinyur, arsitek, pengacara dan akuntan. Sertifikasi guru harus dilakukan oleh organisasi profesi guru, bukan oleh LPTK, apalagi Pemerintah. Untuk menjadi profesi yang terpercaya, guru harus disertifikasi oleh lembaga yang independen dan mandiri agar guru tidak mudah dipolitisasi dan diintimidasi oleh birokrasi dan partai politik. Organisasi profesi guru inilah yang menetapkan kode etik guru dan menegakkan etika profesi guru.

Dalam situasi banyak guru yang bermental pegawai, tidak mandiri dan tidak kompeten, serta sarana sekolah yang seadanya, pergi ke sawah membantu ayah bercocok tanam, atau melaut mencari ikan jelas lebih berguna daripada ke sekolah. Lebih banyak yang bisa dipelajari anak di alam terbuka daripada di ruang-ruang kelas yang sempit, kumuh dan bocor : keberanian, kepatuhan, ketrampilan, dan kecintaan pada lingkungan. Menghadapi guru dengan mentalitas pegawai, murid-murid itu justru belajar menjadi penakut, sementara kreativitinya dikerdilkan. Kita membutuhkan guru baru, bukan kurikulum baru. Kurikulum terbaik sekalipun pasti akan gagal di tangan guru yang tidak kompeten. Sebaliknya, di tangan guru yang kompeten, kurikulum yang sederhana akan menghasilkan proses belajar yang bermutu.

Patut disesalkan jika alih-alih secara konsisten memberi kepercayaan dan menguatkan profesi guru, Kemendikbud justru bermain-main dengan otak-atik kurikulum baru, sementara kurikulum yang sebelumnya (Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan -KTSP) tidak dievaluasi secara transparan dan akuntabel. Kurikulum yang dialami (learned curriculum) murid tidak pernah bisa lebih baik dari mutu guru yang melaksanakannya. Tentu jelas otak-atik kurikulum jauh lebih mudah dilakukan daripada memperbaiki mutu guru dan menjadikannya sebagai profesi yang independen. Kurikulum yang terbaik bagi anak adalah kehidupan seharihari yang meneladankan cara hidup yang baik di luar sekolah : sehat, jujur, adil dan produktif. Sesungguhnyalah belajar bertujuan hanya satu : memperbaiki praktek kehidupan sehari-hari, membentuk tradisi baru yang lebih baik. Jika belajar adalah perayaan atas kehidupan anugerah Tuhan, maka belajar akan membentuk budaya baru sebagai proses memaknai kehidupan. Anak petani menjadi petani yang lebih baik dari ayahnya. Anak nelayan menjadi nelayan yang lebih baik dari ayahnya. Perempuan muda menjadi ibu yang lebih baik dari ibunya. Jika kita mengharapkan sebuah bonus demografi dalam beberapa dekade mendatang ini, perombakan besar pada filosofi, tata kelola, kebijakan, dan program pendidikan perlu dengan berani dilakukan. Di zaman internet ini, belajar semakin tidak memerlukan sekolah. Yang kita perlukan adalah sebuah jejaring belajar (learning webs) yang lentur dan luwes di mana pembelajar bisa belajar di mana saja dan kapan saja serta dengan siapa saja sebagai bagian dari hidup berbudaya. Pendidikan universal tidak mungkin dilakukan melalui pendekatan persekolahan belaka. Jika guru tidak berubah, dia akan menjadi dinosaurus, negeri ini akan menjadi Jurassic Park.

Sumber :
Rosyid, Daniel. 2014. Belajar, bukan sekolah : Agenda deschooling untuk Indonesia.



Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Kombinasi Berbagai cara Menyampaikan Pembelajaran

  Ragam cara melaksanakan pembelajaran: ceramah, kegiatan individu, dan kegiatan kelompok. Dalam melaksanakan pembelajaran, berbagai kombina...