Kamis, 05 April 2018

Kisah Menara Tingi (Bagian 2)

"Jika masyarakat menjadikan pendidikan sebagai prioritas utama, penjara menjadi museum, polisi menjadi penyair, dan psikiater menjadi pemusik” (Augoste Cury)

...Kali ini adalah guru. Ada sekelompok guru TK, SD, SMK, SMA dan Dosen. Mereka bersandar di dinding menara dan memeluk sejumlah orang tua. Tak ada yang tahu apa yang sedang mereka lakukan. Kamera TV memusatkan perhatian kepada mereka dan menayangkannya di layar besar. Wasit meneriaki salah seorang dari mereka untuk naik ke menara. Mereka menolak. Sang wasit memancing mereka, “Selalu ada pengecut dalam sebuah perdebatan.” Suara tawa bergemuruh di stadion itu. Orang-orang menertawakan orang tua dan guru. 

Ketika semua berpikir bahwa mereka lemah, guru-guru itu, dengan dorongan orang tua, mulai memperdebatkan dasar ide mereka. Mereka semua terwakilkan. Salah seorang guru melilhat ke atas dan berkata kepada perwakilan psikiater, “Kami tidak berharap lebih penting dibandingkan Anda. Kami hanya ingin bisa mendidik emosi murid membentuk remaja yang bebas dan bahagia sehingga tidak sakit dan tidak perlu Anda obati, “ Sebuah pukulan langsung ke perwakilan psikiater. Kemudian, Guru lain di sisi kanan memandang perwakilan hukum dan berkata, “Kami tidak akan pernah berpura-pura menjadi labih penting dibandingkan hakim dan promotor. Kami hanya berharap bisa memperkuat kecerdasan remaja sehingga mereka bisa mencintai seni berpikir dan belajar kemulian hak asasi dan manusia dan tanggung jawab, sehingga tidak akan duduk di kursi terdakwa. “Sang perwakilan hukum menggoyangkan kaki".

Guru lain di sisi kiri menara, terlihat malu, memandang perwakilan tentara dan berkata dengan puitis, “Guru-guru di dunia tidak punya keinginan menjadi lebih penting atau lebih kuat dibandingkan anggota angkatan bersenjata. Kami hanya berharap menjadi lebih penting di hati anak. Kami ingin membimbing dalam sebuah kerumunan, tetapi makhluk yang tak dapat digantikan, aktor yang unik di panggung kehidupan manusia.  

Guru ini berhenti sejenak, kemudian menambahkan, “ dengan cara ini, mereka akan jatuh cinta pada kehidupan dan ketika memegang kendali dalam masyarakt, mereka tidak akan pernah memulai perang, entah perang fisik yang menumpahkan darah atau perang dagang yang mengambil keuntungan tinggi. Kami percaya bahwa dalam menyelesaikan konflik, yang lemah menggunakan kekerasan, sedangkan yang kuat menggunakan dialog. Kami percaya bahwa hidup adalah karya besar Tuhan; suatu keindahan yang tidak seharusnya diinterupsi dengan kekerasan manusia”.

Para orang tua sangat gembira dengan kata-kata ini. Namun, sang perwakilan hukum hampir terjatuh dari menara. Anda dapat mendengar suara jarum yang jatuh di tengah kerumunan. Dunia menjadi bingung. Orang-orang tidak menyangka bahwa seorang guru sederhana-yang tinggal di sebuah ruang kelas yang kecil-bisa begitu bijaksana. Pidato guru itu mengejutkan pimpinan acara. Melihat perdebatan itu mulai kacau, wasit dengan sombong berkata, “Pemimpi! Kalian hidup di luar kenyataan!” Seorang guru yang sensitif dan tanda rasa takut berteriak, “Jika kita berhenti bermimpi, kita akan mati!”

Mereka yang masih berada di atas menara mengambil kesempatan dan salah satu seorang pembicara bertindak lebih jauh-masih dengan tujuan melukai mereka: Zaman sekarang ini, siapa yang peduli dengan guru? Bandingkan gaji Anda dengan gaji profesional yang lain. Coba lihat, apakah Anda berpartisipasi dalam rapat politik yang paling penting. Wartawan jarang berbicara dengan Anda. Kepedulian masyarakat terhadap sekolah sangat kecil. Lihat gaji yang Anda terima disetiap akhir bulan!” Seorang guru menatapnya dan berkata dengan tenang: “Kami tidak bekerja hanya demi gaji, tapi bagi kecintaan kamim pad anak Anda dan semia remaja di dunia.”Dengan marah, pemimpin acara itu berteriak: “Profesi Anda akan punah di masyarakat modern. Komputer akan meggantikan Anda! Anda tidak pantas mengikuti kompetisi ini.”

Kerumunan yang terhasut menjadi berubah pikiran. Mereka mengutuk para guru. Mereka meneriakkan pendidikan virtual. Mereka serempak berteriak, “komputer! Komputer! Tidak perlu lagi guru!” Stadion itu dengan gembira mengulang kata-kata ini. Mereka menguburkan guru-guru. Para guru tidak pernah meras sehina itu. Karena merasa terpukul dengan kata-kata itu, merka memutuskan untuk meninggalkan menara, anda tau apa yang terjadi? Menara itu runtuh. Tidak ada orang yang meyangka, angka tetapi menara itu dibangun oleh para guru dengan bantuan orang tua. Pemandangan itu mengejutkan. Para pembicara harus dirawat di rumah sakit. Para guru membuat keputusan lain yang tak disangka-sangka: mereka-untuk pertama kalinya-meninggalkan ruang kelas. Orang mencoba menggantikan para guru dengan komputer; memberi setiap murid satu mesin itu. Mereka menggunakan teknik multimedia terbaik. Tahukan Anda apa yang terjadi?Masyarakat runtuh. Ketidakadilan dan penderitaan jiwa bertambah dengan cepat. Penderitaan dan air mata meningkat. Penjara depresi, rasa takut, dan gelisah mengurung sebagian besar populasi. Kekerasn dan kejahatan berlipat ganda. Kehidupan manusia-yang sudah sangat sulit-menjadi tak tertahankan. Umat manusia meratap dalam penderitaan; hal ini membawa resiko kematian. Dengan takut, mereka akhirnya mengerti bahwa komputer tidak dapat mengajarkan kebijaksanaan, solidaritas, dan cinta akan kehidupan. Belum pernah terpikir oleh mereka bahwa guru adalah landasan segala profesi serta mempertahankan semua yang terpandai dan tercerdas di antara kita. Mereka mendapati bahwa setitik cahaya yang memasuki masyarakt kita datang dari hati guru dan orang tua, yang dengan susah payah mendidik serat mengajar anak-anak mereka.

Mereka mengerti bahwa masyarakat hidup melewati malam yang panjang dan suram serta bahwa ilmu pengetahuan, politik, dan uang tidak dapat memperbaikinya. Mereka sadar bahwa harapan atas senja yang indah terletak pada setiap ayah, ibu, dan guru-bukan pada psikiaterm ahli hukum dan wartawan...Tak peduli apakah orang tua hidup di istana atau rumah kumuh, atau apakah seorang guru mengajar di sekolah yang mewah dan miskin, mereka adalah harapan dunia. Menghadapi hal ini, para politikus, perwakilan kelas profesional, pengusah mengadakan rapat dengan guru di setiap kota di setiap negara. Mereka mengakui telah berbuat salah melawan pendidikan. Mereka meminta maaf dan memohon para guru tidak meninggalkan anak.
 

Kemudian, mereka membuat janji besar. Mereka sepakat bahwa separuh anggaran untuk pembelanjaan senjata, pasukan polisi, dan industri obat penenang serta antidepresi akan diinvestasikan ke dalam pendidikan. Harga diri guru akan diperbaiki dan mereka berjanji akan menciptakan kondisi sedemikian rupa sehingga setiap anak di dunia dapat dibesarkan dengan makanan untuk pertumbuhan tubuh dan pengetahuan untuk jiwa. Tidak akan ada anak yang tidak bersekolah. Para guru menangis. Mereka merasa terharu dengan janji itu. Selama berabad-abad, mereka telah menunggu agar masyarakat terbangun dari drama yang sedang dialami dunia pendidikan. Sayangnya, mereka hanya terbangun saat penderitaan sosial telah mencapai tingkat yang tak tertahankan.

Namun, karena selalu bekerja sebagai pahlawan tanpa nama dan selalu mencintai setiap anak, remaja serta kaum muda, mereka memutuskan untuk kembali ke ruang kelas dan mengajari setiap murid cara berlayar melintasi perairan emosi.
Untuk pertama kalinya, masyarakat menempatkan pendidikan sebagai prioritas utama. Lampu sudah bersinar lagi setelah badai panjang. Setelah sepuluh tahun, hasilnya terlihat; setelah dua puluh tahun, mereka terkejut. Kaum muda tidak lagi menyerah pada kehidupan. Tidak ada lagi bunuh diri. Penggunaan obat terlarang berkurang sedikit demi sedikit. Anda hampir tidak pernah mendengar soal kekerasan. Lalu, bagaimana dengan diskriminasi? Apa itu? Tak ada yang bisa mengingat lagi apa itu diskriminasi. Orang kulit putih dengan penuh kasih sayang memeluk orang kulit hitam. Anak Yahudi menginap di rumah anak palestina. Rasa takut relah mencair.

Penjara berubah jadi museum. Polisi menjadi penyair.Kantor psikiater kosong. Psikiater jadi pengarang. Hakim menjadi pemusik. Promotor menjadi filsuf. Lalu, bagaimana dengan koran dan saluran TV di dunia? Apa yang mereka laporkan, apa yang mereka jual? Tidak ada lagi gesekan antar manusia dan air mata. Mereka menjual mimpi dan mengumumkan harapan....

Kapan cerita ini akan terwujud? Jika kita semua memimpikan impian ini, suatu hari nanti hal ini bukan semata impian.

 Sumber cerita:
Cury, Auguste. 2007. Brilliant Parents Rasceniating Teacher: Kiat Membentuk generasi Muda yang Cerdas dan bahagia. Jakarta: Gramedia Pustaka

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Kombinasi Berbagai cara Menyampaikan Pembelajaran

  Ragam cara melaksanakan pembelajaran: ceramah, kegiatan individu, dan kegiatan kelompok. Dalam melaksanakan pembelajaran, berbagai kombina...