" ...legitimasi keprofesionalan seorang guru bukan disebabkan karena selembar kertas
sertifikat, melainkan dari seberapa
banyak murid terpengaruh dan dapat belajar karenanya"
Suatu sore Ibu Penny, seorang
guru sekolah dasar, sedang asyik menemani beberapa murid kelas satu SD,
memberikan pelajaran tambahan seusai sekolah. Mereka duduk melingkar diatas
karpet berbentuk lingkaran berwarna merah marun, berdiameter 2,5 meter dengan
beberapa gambar tokoh cerita Tommy dan Gery, digelar disalah satu bagian sudut
ruang kelasnya.
Waktu normal untuk mengajar sudah
usai, namun Ibu Penny tetap tekun dan setia melayani anak-anak yang masih
memerlukan dirinya. Setiap hari Ibu Penny melakukan kegiatan yang sama terhadap
murid-muridnya. Ia mengajari mereka membaca, menulis, berhitung dan semua
kebutuhan anak yang berkaitan dengan pelajaran sekolah.
Karena perhatian dan kesabaran
dan cintanya kepada anak-anak, Ibu Penny menjadi idola dan disayangi anak-anak
didiknya. Motonya menjadi guru adalah “
Teaching with Love” - mendidik anak dengan cinta. Ibu Penny yakin bahwa hanya dengan cintalah anak-anak akan
mengembangkan potensinya. Karena didasari oleh cinta, Bu Penny bekerja dengan
penuh ketulusan, sepenuh hati, tidak pernah mengeluh, bahkan hingga meluangkan
waktu pribadi. Kadang-kadang ia dengan rela mengeluarkan uang dari koceknya
sendiri untuk menyediakan media pembelajaran sederhana seperti sedotan platik,
batang es krim, kertas warna, sampai gunting dan lem. Baginya menjadi guru
adalah sebuah persembahan hidup.
Ada sekitar 8 orang anak
laki-laki dan perempuan yang duduk di karpet merah sore itu. Ada dua orang anak
sedang memegang beberapa potong sedotan plastik warna-warni, ada yang panjang
dan ada yang pendek. Mereka belajar berhitung, membandingkan benda berdasarkan
ukuran panjang pendek. Ada dua anak lain sedang belajar bagaimana membuat
klasifikasi benda berdasarkan warnanaya. Dua anak lain lagi sedang asyik
menempel beberapa stick es krim untuk dibuat bangunan. Sedangakan dua anak lagi
tampak sedang menggunting kertas berwarna, berikut menempelkannya pada kertas sesuai
dengan pola gambar yang ada pada kertas. Semua anak sore itu tampak ceria,
bergairah seakan tidak peduli dengan waktu yang sudah menjelang malam.
Singkatnya, anak-anak sangat menyenangi dan menikmati apa yang mereka lakukan.
Tiba-tiba keceriaan itu berhenti,
seorang anak melilhat Pak Kepala Sekolah berdiri didepan pintu ruang kelas. “
Ibu...Ibu, ada Bapak Kepala Sekolah datang,” teriak anak tersebut bermaksud
memberi tahu ibu Penny. Rupanya Pak Kepala Sekolah sudah berada disana sejak
beberapa saat yang lalu. Sempat mengamati proses pembelajaran yang dilakukan Ibu
Penny. Dalam hatinya Pak Kepala Sekolah berkata, “ inilah guru yang saya
maksudkan. Mampu menciptakan suasana belajar yang hidup, menyenangkan,
murid-murid belajar dengan penuh antusias.”
Begitu melihat suasana berubah,
cepat-cepat Pak Kepala Sekolah berkata, “ Ibu Penny bisa ke kantor saya
sebantar?” dengan nada dingin ia meminta lalu membalikkan badannya berjalan
menuju kantornya.
Bu Penny pun bergegas, sambil
meletakkan ujung jari ke mulutnya, memberi isyarat agar anak-anak tetap diam
dan tetap belajar, sementara ia memenuhi panggilan sekolah.
“Silahkan duduk Ibu,” demikian
Bapak Kepala Sekolah membuka pembicaraan. “Ini kali ketiga saya memanggil Ibu
Penny. Sudah saya ingatkan agar Ibu unutk memenuhi persyaratan dokumen
sertifikasi, tetapi sampai sekarang Ibu belum juga mengumpulkannya, ada apa?”
tanya Kepala Sekolah dengan raut wajah sedikit kesal.
Pak terima kasih, Bapak telah
mengingatkannya. Tetapi sesungguhnya saya tidak paham untuk apa saya harus ikut
sertifikasi Pak?” Bu Penny balik bertanya.
“ Loh Ibu ini bagaimana sih, ini
kesempatan istimewa, sementara guru-guru lain berlomba ingin disertifikasi,
malah Ibu balik bertanya?” tegas Pak Kepala Sekolah.
Maaf Pak saya hanya ingin tahu
saja,” bu Penny merendah
Kalau Ibu sudah tersertifikasi,
maka Ibu akan diakui sebagai guru profesional,” Jelas Kepala Sekolah
Oh begitu ya Pak. Guru
profesional maksudnya bagaimana Pak?” Bu Penny balik bertanya
“Profesional itu kualifikasi
yang diberikan kepada guru yang mengajar dan mendidik anak-anak dengan baik.
Guru yang profesional dapat menciptakan proses pembelajaran yang menyenangkan.
Murid-murid dapat belajar dengan senang, penuh semangat. Guru profesional
peduli dan memahami kebutuhan masing-masing anak didik, mengajar dengan
totalitas dan dilandasi cinta kasih,” Pak Kepala sekolah berusaha menjelaskan
layaknya seorang pemimpin yang bijaksana.
Oh, ma...maaf Pak, apakah tadi
Bapak sempat melihat saya mengajar di kelas saya?” tanya Bu Penny
Ya, saya melihatnya, memangnya
kenapa?” Pak Kepala Sekolah balik bertanya
Bukannya tadi Bapak sudah lihat
proses pembelajaran saya yang sangat menyenangkan anak-anak; anak-anak antusias
dan penuh semangat?Walaupun hari sudah menjelang malam, saya tetap setia
menemani dan membantu mereka belajar?” tegas bu Penny
Mendengar penjelas Bu Penny,
tentu saja Pak Kepala Sekolah menjadi tersipu malu. Ia tahu persis bahwa bu
Penny adalah salah satu guru terbaiknya.
Untuk mengatasi situasi, Pak
Kepala Sekolah melanjutkan, “Bukan hanya itu saja Ibu. Kalau Ibu sudah
tersertifikasi, nanti Ibu akan mendapatkan insentif dan tunjangan yang lumayan
untuk nambah pendapatn Ibu,” Pak Kepala Sekolah mencoba mengalihkan perhatian.
Sekali lagi Bu Penny menjawab, “
Maaf Pak, kalau boleh saya tidak usah ikut sertifikasi saja”.
Pak Kepala Sekolah pun terdiam.
Lalu Bu Penny berdiri, bergegas meninggalkan ruangan kepala sekolah menuju
kelas di mana anak-anak sudah menunggu dan mengharap kehadirannya.
Terang saja Pak Kepala Sekolah
semakin bingung. Ada salah satu gurunya yang tidak mau disertifikasi, tidak
tertarik untuk mendapatkan tambahan uang, sementara yang lain
mengejar-ngejarnya walaupun dalam keseharian tidak bekerja sebaik Ibu Penny.
Kebanyakan guru memaknai
sertifikasi identik dengan uang tambahan. Guru yang sudah tersertifikasi
mendapat hak tunjangan bulanan tanpa harus menambah dan atau meningkatkan
kualitas pekerjaannya. Karena itu, segala upaya dilakukan untuk bisa
sertifikasi. Padahal sertifikasi guru sejatinya bertujuan meningkatkan kualitas
guru. Guru yang tersertifikasi memiliki kualifikasi, memiliki kompetensi,
sehingga dapat melakukan pekerjaan mengajarnya secara profesional.
Bu Penny adalah salah satu sosok
guru yang tidak tergoda oleh uang tunjangan sertifikasi. Ia tahu persis bahwa
legitimasi keprofesionalan seorang guru bukan disebabkan karena selembar kertas
sertifikat, melainkan dari seberapa
banyak murid terpengaruh dan dapat belajar karenanya. Ibu Penny tidak butuh
sertifikasi, yang ia butuhkan adalah kualifikasi.
Sumber:
Herman J.P Maryanto. 2011. Guruku Matahiriku: Merenungi dan Memaknai Profesi Guru.
Herman J.P Maryanto. 2011. Guruku Matahiriku: Merenungi dan Memaknai Profesi Guru.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar