Jumat, 27 April 2018

Memaknai Profesi Guru

"Teacher is call profession. Tidak semua orang bisa menjadi guru. Hanya orang-orang terpanggil yang dapat menjadi guru sejati. Hanya pemberanilah yang memutuskan dan memilih guru sebagai profesi dalam hidupnya"

Status keprofesian guru di negeri ini masih dipertanyakan, walaupun secara de ju re sudah diundangkan melalui Undang-Undang nomor 14 tahun 2005 ( Bab 1, pasal 1 ayat 1), tentang Guru dan Dosen, bahwa “Guru adalah pendidk profesional dengan tugas utama mendidik, mengajar, membimbing, mengarahkan, melatih dan mengevaluasi peserta didik pada pendidikan dasar usia dini jalur pendidikan formal, pendidikan dasar, dan pendidikan menengah”, sebagai sebuah profesi, semestinya guru tidak berbeda dengan dokter, enginer, lawyer, dan lain-lain.

Banyak orang menjatuhkan pilihan menjadi guru bukan sebagai pilihan pertama. Memilih menjadi guru karena terpaksa, tidak diterima di jurusan lain di perguruan tinggi, atau karena tidak mendapatkan pekerjaan lain. Menjadi guru hanya untuk mendapatkan pekerjaan lain yang diharapkan. Menjadi guru sekadar untuk mengisi waktu. 

Banyak orang salah persepsi tentang profesi guru, bahwa menjadi guru berarti menjadi pegawai. Menjadi guru sama artinya menjadi seorang pekerja seperti pekerja-pekerja lainnya, pekerja pabrik, pekerja bangunan, pekerja tambang, dan lain-lain. Dalam pandanan ini guru adalah bekerja untuk mencari sesuap nasi, mendapatkan upah untuk memenuhi kebutuhan pribadi.

Pembenaran pemahaman ini tampak jelas ketika kenyataan menunjukkan bahwa profesi guru diperlakukan tidak lebih baik dari profesi lainnya. Guru tidak mendapatkan apresiasi yang wajar di mata masyarakat bahkan dipandang sebelah mata. Gaji guru tidak jauh berbeda dengan upah para pekerja lain yang relatif tidak memerlukan keterampilan khusus. 

Anda dapat membandingkan penghasilan seorang kernek (pelayan) atau tukang bangunan, sehari mereka akan mengantongi Rp 100.000; sampai dengan Rp 150.000;. Artinya, setiap bulan mereka akan mendapatkan upah antara RP 3000.000; sampai dengan RP 4.500.000;. Jumlah itu lebih besar dibandingkan dengan gaji seorang guru lulusan S1 yang sudah mengajar belasan tahun di banyak daerah di negeri ini. Karena itu, tidak dapat disalahkan jika orang berpendapat bahwa profesi guru adalah pekerjaan mudah. 

Banyak orang “merasa mampu” menjadi guru, walaupun mereka tidak berlatarbelakang pendidikan keguruan. Ketika siswa mengalami masalah kecil dengan gurunya di sekolah, kadang orang tua langsung memvonis guru tidak becus, tidak berkualitas. Ada orang tua yang “ merasa lebih mampu” menjadi guru daripada para guru yang sebenarnya, walaupun sehari-harinya ia bekerja di gudang sebuah pabrik atau bekerja sebagai tukang jahit. Lebih celakanya lagi, ada orangtua yang hanya karena memiliki gaji lebih besar daripada gaji seorang guru, lantas merasa lebih hebat dari guru. 

Profesi guru tidak memiliki wibawa dan kredibilitas di mata masyarakat. Sangat disayangkan, pemaknaan seperti ini terjadi pula di kalangan orang-orang penting pengambil keputusan. Hasilnya pendidikan di negeri ini bukan suatu hal yang perlu diprioritaskan, melainkan dipandang sebelah mata, termasuk dalam mengalokasikan anggaran dana. 

Lebih parah lagi, ketika sekolah disamakan dengan pabrik atau perusahaan barang yang orientasinya mencari keuntungan belaka. Jangan salahkan kalau mutu pendidikan makin terpuruk, karena sekolah dipahami sebagai tempat penghasil produk tertentu, demi keuntungan pemiliknya. Perusahaan diukur dari berapa banyaknya produksi barang yang dihasilkan dan berapa besar keuntungan yang diperoleh. Apresiasi pemilik perusahaan terhadap pegawainyapun didasarkan kepada kuantitas produksi yang dapt dihasilkan serta berapa banyak seseorang menghasilkan barang dan memberikan keuntungan bagi pemilik perusahaan. Jika seseorang pekerja atau pegawai tidak dapat menghasilkan jumlah barang sesuai dengan target yang sudah ditentukan maka pegawasi tersebut tidak pantas mendapat penghargaan, jika perlu di-PHK.

Jika profesi guru diparalelkan dengan pegawai perusahaan seperti disebutkan diatas maka niscaya kualitas pendidikan di negeri ini akan tetap terbelakang. Profesi guru tidak akan pernah diminati oleh orang muda.

Para guru diharapkan mampu memaknai profesinya secara benar dan lebih mendalam dibandingkan masyarakat pada umumnya. Para guru hendaknya menyadari bahwa menjadi guru bukan sekedar mencari nafkah. Profesi guru sama sekali tidak ada hubungannya dengan upah. Uang bukan hal terpenting dalam urusan mendidik manusia muda agar menjadi manusia yang berbudaya dan mandiri. Jika Anda seorang guru dan memaknai profesi anda hanya sekedar sebagai sarana mencari nafkah dengan dalih mendidik manusia muda, sama artinya Anda sedang merusak generasi bangsa yang akan datang. 

Menurut Andrias Harefa, dalam bukunya pembelajaran di era serba otonomi (2001, hlm, 70), menjadi guru bukan sekedar pekerjaan, tetapi profesi yang mesti dijalankan dengan semangat pengabdian, rela mengurbankan kepentingan dirinya untuk kepentingan lebih besar. Guru tidak sekadar berurusan dengan “ otak” (pengetahuan) dan “otot” (keterampilan”, melainkan harus masuk ke dalam, yakni ke dalam “ hati” (moral-spiritual). Ini hanya mungkin jika guru melibatkan cinta dan kepedulian dalam semua profesi pembelajaran dan juga dalam kehidupan sehari-harinya.

Guru itu seperti seorang Ibu. Di dalam sosok Ibu ada kasih sejati. Kasih ibu adalah tanpa pamrih. Kasih yang hanya memebri dan memberi. Kasih yang tidak pernah berharap kembali. Ia memberi kasihnya memastikan anak-ankanya tumbuh dan berkembangn sesuai potensi dirinya. Dengan kasihnya, ia meyakini anak-anaknya akan tumbuh menjadi “ lebih besar” daripada dirinya. 

Kasih Ibu kepada anaknya juga dianalogikan dengan sang surya yang memberikan cahaya terangnya kepada dunia. Sang surya (Matahari) tidak pilih kasih. Semua manusia, baik yang jahat maupun yang baik, diberi cahaya terangnya. Matahari tidak mengenal suku, agama, warna, kulit, jenis rambut atau aneka ragam perbedaan manusia. Bagi matahari, semua manusia berhak menerima terang dan cahaya sesuai dengan kapasitas dan kebutuhannya. Sinar matahari adalah energi.  Energi yang memampukan manusia melakukan aktivitasnya. Demikian pula kasih yang memancar dari seorang guru akan memberikan “energi” yang memampukan para murid mengeluarkan dan mengaktualisasikan potensinya. “Energi” yang mampu memerdekakan dirinya dari segala bentuk tekanan, untuk menjadi orang mandiri. 

Singkatnya, teacher is call profession, guru adalah profesi panggilan. Tidak semua orang bisa menjadi guru. Hanya orang-orang terpanggil yang dapt menjadi guru sejati. Hanya pemberanilah yang memutuskan dan memilih guru sebagai profesinya dalam hidupnya-hanya orang yang siap menyerahkan “ dirinya” secara total dalam melayani manusia muda tanpa embel-embel apa pun. Tidak semua orang dapat menjadi guru, hanya orang-orang terpanggil untuk menyerahkan seluruh hatinya terpilih menjadi guru sejati. Semoga tulisan ini bermanfaat bagi kita untuk memaknai makna sebenarnya menjadi seeang guru.  
  
Sumber :
Herman JP Maryanto. 2011. Guruku Matahariku: Merenungi dan Memaknai Profesi Guru. 

Coreta pagi di Hotel Platinum Labuhabatu, 27 April 2018

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Kombinasi Berbagai cara Menyampaikan Pembelajaran

  Ragam cara melaksanakan pembelajaran: ceramah, kegiatan individu, dan kegiatan kelompok. Dalam melaksanakan pembelajaran, berbagai kombina...