Dalam berbagai kesempatan, kita sering membicarakan kondisi sekolah kita. Mungkin pada suatu saat di masa lalu kita pernah merasa puas dan bangga terhadap sekolah kita, tetapi pada hari-hari ini tak jarang diantara kita merasa jengkel, kwatir, atau bahkan nyaris putus asa, lebih–lebih saat membandingkan sekolah kita dengan sekolah lain. Dulu sekolah kita termasuk sekolah favorit, tetapi mengapa kini justru sangat tertinggal? Sebaliknya, ditengah arus perubahan, ada yang sama sekali tidak merasa risau, bahkan merasa puas serta merasa kondisi dan posisi sekolahnya baik-baik saja.
Di antara kita, mungkin juga ada
yang merasa sampai kapanpun sekolahnya tak pernah bisa berprestasi mengingat
berbagai keterbatasan, diantaranya lokasinya yang ada di pelosok, sarana
prasaran yang serba minim, relative rendahnya kualitas siswa yang mendaftar.
Benarkan sekolah di pelosok tak akan pernah berpeluang untuk menjadi
berkualitas? Benarkah sekolah dengan sarana dan prasarana serba minim dan
dengan kulitas siswa baru yang relative rendah tidak akan bisa menjadi sekolah
yang mampu menghasilkan lulusan berkualitas?
Berbagai perbincangan seperti itu umunya lebih banyak didasarkan pada intuisi. Cara penilaiannya pun lebih banyak bersifat subyektif. Karena itu, tidaklah mengherankan jika kita seakan-akan tidak berdaya untuk membuat perubahan meski kita sering membicarakannya.
Umumnya kita lebih sering mengukur tingkat pencapaian hasil, tetapi jarang mengukur tingkat keefektifan strategi dan tindakan penentu hasil. Tingkat keberhasilan yang diukurpun sering hanya yang bersifat popular di mata masyarakat, seperti persentase kelulusan murid dalam ujian nasional, jumlah calon murid baru yang mendaftar, peringkat akreditasi sekolah, keberhasilan para murid dalam olimpiade matematika dan sain, jumlah dan ragam kejuaraan pialanya dapat direbut para murid sekolah, dan penambahan saran dan prasaran sekolah.
Ihwal pencapaian hasil sebenarnya
memiliki bobot edukasi justru jarang dievaluasi. Bobot edukasi itu diantaranya
berapa banyak murid yang semula belum lancar membaca kini gemar membaca, yang
tadinya tertinggal dalam pelajaran kini menyukai belajar dan mulai mampu
menyamai prestasi teman-teman lainnya, berapa banyak murid yang terinspirasi untuk
menjadi ilmuwan, wirausaha, atau agen perubahan social saat mempelajari topic
pembelajaran, berapa banyak murid yang mampu berpikir kreatif dan inovatif
serta mengalami perkembangan signifikan dalam kecakapan memecahkan masalah.
Berbicara tentang tingkat
pencapaian hasil inipun, kita sering belum bisa mengukurnya dengan jujur.
Keberhasilan dalam ujian nasional, misalnya, diwarnai berbagai kecurangan demi
sekolah dapat dinilai berhasil. Ada juga sekolah yang beberapa bulan sebelum
ujian nasional mengundang lembaga bimbingan belajar tertentu untuk melaksanakan
latihan soa-soal bagi para muridnya. Sekolah seakan tak lagi berdaya mengantar
anak-anaknya untuk berhasil dalam ujian nasional. Lalu apa arti dan kontribusi
semua upaya pembelajaran yang dilakukan sekolah selama beberapa tahun
sebelumnya?
Hal itu kian menjadi
memprihatinkan karena strategi atau tindakan yang diperlukan untuk mencapai
sebuah keberhasilan sering luput dari perhatian pengelola sekolah. Tak jarang
sekolah hanya melakukan rutinitas yang itu-itu saja, tetapi mengharapkan adanya
penigkatan pencapaian hasil. Adanya tuntutan pencapaian hasil yang sangat kuat
dalam waktu relatif singkat membuat banyak sekolah terjebak untuk memilih
upaya-upaya instan dalam menyiapkan para muridnya agar mampu memenuhi target.
Proses pembelajaran tidak lagi dilakukan sebagai suatu proses mencari,
menemukan, dan membangun, tetapi cenderung bersifat memberi tahu dan menyuruh
para murid menghafalkan saja berbagi fakta dan informasi.
Sumber bacaan: Anite Lie, Praktik Baik Pendidikan
Tidak ada komentar:
Posting Komentar