Rasa takut atau cemas belajar matematika dan proses pembelajaran yang belum ideal adalah dua faktor terbesar yang mempengaruhi rendahnya kemampuan numerasi di Indonesia. Sistem pendidikan, lingkungan keluarga (orang tua), buku teks, dan proses pembelajaran memiliki pengaruh yang kuat dalam membuat anak suka atau tidak bernumerasi atau bermatematika. Kesimpulan ini merupakan hasil diskusi dengan ahli numerasi, Bapak AW dan membaca berbagai jurnal terkait numerasi.
Rasa takut atau cemas terhadap matematika banyak dipengaruhi oleh lingkungan dan sistem pendidikan yang melihat matematika itu sebatas angka-angka dan benar salah. Matematika tidak dipandang sebagai bagian dari kemampuan dasar untuk berpikir dan memcahkan masalah sehingga kesannya tidak bermanfaat untuk kehidupan. Padahal semua kehidupan membutuhkan dan terkait dengan matematika (numerasi). Oleh karena itu tantangan kedepan adalah bagaimana kita membangun lingkungan dan sistem pendidikan yang enjoyfull dan dimana matematika atau nimerasi bukalagi dilihat sebagai sesuatu yang mengerikan atau menakutkan.
Proses pembelajaran numerasi yang ideal.
Secara teoritis, berbagai penelitian telah memberikan rekomendasi pembelajaran berorientasi numerasi atau literasi matematika. Antonius, Haines, Jensen, Niss, dan Burkhardt (2007) menegaskan bahwa mengembangkan kemampuan numerasi tidak cukup menggu- nakan pembelajaran dengan skema 3E, yaitu explain, example, and exercise atau menjelas- kan, memberi contoh, dan memberikan soal latihan. Menurut Antonius dkk, pembelajaran numerasi idealnya bersifat aktif dan berpusat pada siswa (student-centered). Pada pembelaja- ran tersebut, guru berperan sebagai fasilitator atau pendamping belajar siswa. Pembelajaran aktif untuk pengembangan numerasi juga disarankan Blum (2011) yang menyebutkan bahwa guru sebaiknya mendorong siswa bekerja secara mandiri melalui pemberian aktivitas berpikir aktif dan reflektif. Terkait hal tersebut, guru sebaiknya memegang prinsip “membantu siswa mengerjakan secara mandiri” yang berarti perlu menjaga keseimbangan antara bantuan guru dengan kemandirian siswa. Selain pembelajaran aktif dan berpusat pada siswa, rekomendasi lain yang diberikan oleh berbagai peneliti terkait pembelajaran numerasi adalah penggunaan soal dengan konteks dunia nyata. Untuk mengembangkan kemampuan numerasi, pembelaja- ran di kelas perlu menggunakan soal dengan konteks dunia nyata (Blum, 2011; Kramarski, Mevarech, & Arami, 2002). Soal dengan konteks dunia nyata akan mengembangkan kemam- puan siswa untuk menerapkan pengetahuan matematika mereka dalam berbagai konteks.
Kenyataannya saaat ini proses belajara matematika atau literasi di sekolah masih hanya fokus pada angka-angka, menghafal dan menjawab soal membuat matematika semakin tidak menarik. Belief guru akan numerasi atau matematika bahwa matematika itu adalah ilmu pasti, sulit dimengerti, serta tidak nyata membuat matematika hanya sebatas teori dan dibutuhkan untuk lulus ujian. Belum lagi ada banyak guru (khususnya di SD) bukan berlatar belakang matematika sehingga guru hanya mengajar matematika sebagaimana diajar waktu sekolah. Dan ini adalah dosa besar guru, karena setiap anak memiliki karakteristik dan jamannya sendiri dan mereka harus diajarkan sesuai karakteristiknya dan kebutuhannya masing-masing.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar