Rabu, 29 November 2023

Membaca PISA dengan Kritis

AWAL bulan depan OECD akan mengumumkan hasil PISA 2022 untuk 80 negara yang berpartisipasi, termasuk Indonesia. Bagaimana potret literasi murid Indonesia di PISA terbaru ini? Ingat PISA 2022 dilakukan setelah penutupan sekolah akibat pandemi selama 23 bulan. Menurut Bank Dunia, penutupan sekolah di Indonesia termasuk paling lama sedunia. Kajian Kemendikbud-Ristek bersama INOVASI mencatat, siswa sekolah dasar di Indonesia kehilangan pembelajaran (learning loss) setara 11-12 bulan belajar. Karena itu, skor PISA Indonesia 2022 kemungkinan besar turun, meski hasil persisnya baru diketahui setelah pengumuman.   

Pengaruh global PISA 

Sorotan publik pada hasil PISA bukan hanya di Indonesia. Sejak diluncurkan pada 2000, PISA sudah menunjukkan pengaruh internasionalnya. Finlandia menjadi primadona setelah menempati peringkat pertama pada PISA 2000 yang membuat pendidik dari berbagai penjuru dunia rutin menyambangi untuk studi banding. Di sisi lain, Jerman mengalami ‘guncangan PISA’ karena hasilnya jauh dari harapan. Skor PISA 2000 Jerman ada di peringkat 22 dari 32 negara, dengan kesenjangan sosial-ekonomi tergolong paling tinggi sedunia. Ini menghancurkan persepsi dirinya sebagai negara dengan sistem pendidikan unggul. Menurut catatan Andreas Schleicher, arsitek PISA di OECD, guncangan PISA menjadi faktor penting reformasi pendidikan di Jerman. Mulai perluasan akses PAUD; perubahan kurikulum sains dan matematika dari abstrak ke penerapan teori pemecahan masalah; perumusan standar nasional mata pelajaran pokok, dan pemantauannya melalui asesmen nasional; serta perhatian lebih pada kelompok marjinal. Kasus Jerman menjadi contoh, bagaimana PISA memantik reformasi komprehensif untuk meningkatkan kualitas sekaligus kesetaraan pendidikan.   

Kritik terhadap PISA 

Pengaruh global PISA sudah tak diragukan. Tapi tidak semua sepakat pengaruh itu baik. PISA dikritik secara filosofis maupun metodologis. Secara filosofis, Yong Zhao, profesor dari Kansas University, menilai pengaruh global PISA mereduksi makna pendidikan ke dalam wacana ekonomi neo-liberal. PISA menempatkan daya saing dan pertumbuhan ekonomi sebagai tujuan utama pendidikan, dengan berfokus pada kompetensi penyelesaian masalah praktis, yakni membaca, matematika, dan sains. PISA mengesampingkan seni, olahraga, ilmu sosial, budaya, dan humaniora yang diperlukan untuk mengasah empati, apresiasi, solidaritas sosial, dan sikap demokratis yang tidak terkait langsung dengan ekonomi, tetapi esensial untuk membangun masyarakat yang sehat. Dari sisi metodologis, penentuan peserta tes siswa berusia 15 tahun – terlepas dari kelas mereka – juga dikritik. Di Indonesia, separuh sampel PISA berisi siswa kelas 9. Di kebanyakan negara lain, karena siswa memulai sekolah di usia lebih muda, sampel PISA lebih banyak kelas 10. Ini problematik kalau hasil PISA dipakai membandingkan kualitas sistem pendidikan antarnegara. Problem metodologis lain adalah bias kultural dan ekonomi. Secara kultural, hasil evaluasi psikometrik mencatat tes literasi PISA yang ditulis dalam bahasa Inggris dan diterjemahkan ke berbagai bahasa menciptakan perbedaan tingkat kesulitan. Bias ekonomi terjadi saat latar belakang sosial-ekonomi siswa dan GDP negara jadi prediktor kuat skor literasi. Skor PISA tidak hanya mencerminkan kualitas sistem pendidikan, tetapi kondisi ekonomi. Pemeringkatan negara tanpa memperhatikan kondisi ekonomi menjadi disinsentif bagi negara dengan sistem pendidikan inklusif. Misalnya, negara yang menerima banyak imigran dan pengungsi seperti Jerman akan dirugikan. Demikian juga, Indonesia yang menerapkan kebijakan afirmasi melalui PPDB yang memungkinkan banyak siswa keluarga miskin untuk bersekolah. 

Menyikapi hasil PISA  

Terlepas kritik terhadap PISA, kemampuan membaca, matematika dasar, dan sains adalah kompetensi penting. Jika hanya sepertiga siswa kelas 9 dan 10 yang bisa menyarikan makna dari sebuah bacaan pendek, harus diakui sistem pendidikan kita memerlukan transformasi menyeluruh. Meski penting, skor literasi PISA bukanlah potret utuh sistem pendidikan. Skor tersebut tidak mencerminkan pembelajaran sosial-emosional, nilai-nilai (values), dan tidak menggambarkan aspek keadilan (equity). Karena itu, perlu dilengkapi indikator lain untuk mengukur keberhasilan (atau kegagalan) pendidikan. Sebagai wakil Indonesia di Governing Board PISA, saya menyampaikan kritik dalam pertemuan di Roma, Italia, Maret 2023. Saya mengusulkan indeks yang lebih komprehensif guna memotret kualitas sistem pendidikan. Hal ini sangat mungkin dilakukan, karena PISA sebenarnya mengukur banyak hal di luar kompetensi kognitif. Misalnya, PISA mengukur wellbeing, motivasi intrinsik, strategi belajar, perundungan serta kondisi sosial-ekonomi, yang bisa digunakan untuk membandingkan skor literasi secara lebih kontekstual. Yang diperlukan adalah komitmen politik OECD untuk menggunakan data tersebut dalam pemeringkatan PISA. Terlepas dari respons OECD, Kemendikbudristek telah mulai melakukan upaya sistemik untuk memperbaiki literasi murid. Tapi, upaya ini tidak berhenti pada literasi. Kurikulum Merdeka, misalnya, memandatkan sekitar 20% jam pelajaran untuk pendidikan karakter melalui projek penguatan Profil Pelajar Pancasila. Asesmen Nasional juga mengukur berbagai aspek karakter, termasuk akhlak pada alam dan sesama manusia, kemauan untuk bergotong royong, serta kecintaan pada keragaman. Asesmen Nasional juga dipakai untuk mengukur sekaligus mendorong pemerataan kualitas pendidikan. Pendek kata, Indonesia mengambil pelajaran dari PISA tanpa didikte olehnya


Sumber: https://mediaindonesia.com/opini/631765/membaca-pisa-dengan-kritis
Membaca PISA dengan Kritis
Oleh: Anindito Aditomo Kepala BSKAP Kemendikbud-Ristek

Selasa, 19 September 2023

Roda Pintar Baca Tulis

Berikut ini adalah salah satu praktik baik dampingan projek saya dalam meningkatkan membaca dan menulis. Praktik baik ini ditulis dengan model ATAP (Awal, Tantanga, Aksi dan Perubaha yang terjadi).   

Awal: 

Guru ingin suasana kelas yang menyenangkan ketika belajar. Mengubah rasa bosan dan tidak semangat bahkan bagi sebagian siswa merasa panik ketika diunjuk guru untuk maju ke depan kelas.

Tantangan : 

1. Peserta didik tidak percaya diri dan merasa tertekan ketika diunjuk guru maju ke depan kelas yang membutuhkan penalaran secara cepat.

2. Kurangnya semangat peserta didik terhadap materi baca tulis

Aplikasi : strategi yang saya lakukan dengan memakai roda pintar baca tulis dalam kelompok: 

Perubahan : peserta didik menjadi lebih percaya diri, merasa senang ketika belajar dan mampu bernalar lebih kritis untuk mencari dan menemukan kata yang berasal dari gabungan huruf konsonan dengan huruf vokal secara acak.

Kamis, 14 September 2023

Membangun Rasa Percaya di Sekolah

Rasa percaya merupakan sebuah elemen yang tidak terpisahkan dari budaya sekolah yang positif dan produktif yang mana berkontribusi terhadap kualitas pengajaran, pembelajaran, dan kesejahternaan di sekolah. Andy Hargreaves dan Michael Fullan (2012) mendesak sekolah untuk secara kolektif dan sadar membangun rasa percaya terhadap guru, bahkan ketika itu akan menghasilkan tantangan baru dan kegagalan yang mengecewakan. 

Lima Bahan Baku atau Elemen Rasa Percaya

Profesor Megan Tschannen-Moran, salah satu cendekia yang berpengaruh untuk urusan rasa percaya dalam pendidikan, mendefinisikan rasa percaya sebagai " kerelaan untuk bisa sewaktu-waktu terluka oleh orang lain, akibat keyakinan bahwa orang lain tulus hati, jujur, dapat diandalkan dan berkompeten (2014, p.19). Ketika anda mempercayai sesorang, artinya Anda hanya memiliki sedikit ketakutan bahwa orang ini akan melukai Anda. Anda yakin bahwa orang ini berbicara dan bertindak dengan jujur, mengkomunikasikan informasi esensial kepada Anda, dan berperilaku seperti yang diperkirakan. 

Menurut Megan-Moran ada 5 elemen dari rasa percaya, seperti yang diilustrasikan pada gambar.

- Ketulusan. Rasa percaya bahwa kesejahteraan seseorang atau sesuatu yang sangat berarti bagi seseorang akan dilindungi pihak lain. Ketulusan merupakan suatu kondisi kunci untuk memperkaya interaksi, yang terjadi ketika orang-orang saling memabntu untuk menjadi sempurna daripada jika mereka bekerja sendirian, karena tanpanya, orang bisa cenderung menghabiskan energi mereka hanya agar tidak tampak bodoh atau terhindar dari tanggungjawab untuk mencari solusi alternatif (Toro, 2010). Dalam praktik, ini berarti bahwa sesorang tidak perlu takut bahwa individu atau kelompok lain akan mencoba memanfaatkan kelemahan atau kegamangan mereka. Dalam sekolah dengan rasa percaya yang rendah, baik guru dan siswa menghabiskan energi psikologis mereka sedemikian besar untuk berhadapan dengan rasa takut dan terluka di antara mereka. Sekolah yang telah dengan sukses menciptakan budaya berbasis rasa percaya sering kali meningkatkan ketulusan dengan membangun hubungan yang aman, ramah, dan memperkaya di antara semua anggota komunitas sekolah. 

- Kejujuran. Karakter, integritas, dan keotentikan dari seseorang yang dipercaya. Dalam praktik, ini berarti bahwa guru dapat menyandarkan diri pada kata dan tindakan rekan kerja, pengurus sekolah, dan siswa mereka. Saat kejujuran hilang, penghianatan, kecurigaan, dan ketidakpercayaan mengambil alih keadaan. Sekolah yang merayakan dan menerapkan rasa percaya telah secara sistematis memperkuat kerja sama dan komunikasi di antar guru dan anggota komunitas sekolah mereka lainnya.

- Keterbukaan. Sejauh mana informasi yang relevan dibagikan dan tidak disimpan oleh orang lain. Dalam praktik, ketika keterbukaan di sekolah berkurang, pendidikn akan mulai penasaran akan apa yang mungkin disembunyikan rekan kerja lain dari mereka dan mengapa. Lebih jauh lagi, ketika para guru merasa bahwa mereka saling bersaing di sekolah, mereka tidak akan membagikan ide terbaik mereka atau mendukung rekan kerja karena itu mungkin akan melemahkan posisi mereka dalam persaingan yang terjadi. Keterbukaan di sekolah seringkali merupakan buah dari kepemimpinan dengan tujuan yang pasti, norma-norma yang jelas tentang perilaku yang baik di antara guru, dan kolaborasi profesional di antara semua anggota komunitas sekolah. 

- Keandalan. Konsistensi perilaku dan tahu apa yang diharapkan dari orang lain. Dalam praktik, ini berarti bahwa setiap orang di sekolah menyadai peran individual dan kolektif mereka serta tanggungjawab yang mengiringinya. Sekolah yang berhasil menanamkan rasa tanggungjawab yang tinggi pada anggota stafnya ( contoh, guru yang konsisten menunjukkan perilaku profesional saat mereka memenuhi peran dan tanggungjawabnya) sering melakukan lewat investasi dalam hal pengembangan profesional berbasis sekolah dan suatu budaya kolaboratif. 

- Kompetensi. Kemampuan untuk menunjukkan performa sebagaimana yang diharapkan dan sesuai dengan standar yang layak atas tugas yang sedang dikerjakan. Dalam praktik, ini berarti bahwa sekolah telah menyampaikan harapan profesional dan pemahaman umum yang hanya dapat diwujudkan oleh profesional yang berpengalaman dan berkualitas demi terpenuhinya harapan tersebut. Rasa percaya terhadap guru-guru dapat menurun tidak peduli betapa andal, terbuka, atau jujur mereka di sekolah jika mereka tidak memiliki pengetahuan profesional, kompetensi dan karakter moral. 

Membangun sebuah budaya rasa percaya yang tinggi terhadap guru mensyaratkan, menurut model ini, ke semua 5 elemen secara bersamaan menjadi fokus sebuah tindakan dan secara bertahap menjadi semakin kuat. 

Rasa percaya, tentu saja, adalah sesuatu yang kasat mata. Ini sedikit mirip dengan kesehatan kita--kita jadi lebih tahu ketika mulai merosot atau hilang. Meski demikian, keuntungan rasa percaya bagi organisasi, sistem organisasi, dan individu sangat banyak. Berikut ini 5 keuntungan utama dari rasa percaya: 

  1. Rasa percaya terhadap sekolah dan guru ibarat lem yang mendukung ketergantungan dan keterpaduan sosial yang positif dalam sebuah sistem pendidikan. Dalam sistem seperti itu, pengetahuan, keterampilan profesional, dan kebijksanaan kolektif dari para pendidik dihargai sangat tinggi dalam pembuatn keputusan.
  2. Rasa percaya merupakan elemen mendasar dari kolaborasi dalam sekolah, dan kolaborasi merupakan kunci daya penggerak di balik sebuah sekolah yang sukses. 
  3. Rasa percaya mempromosikan (dan mensyaraktkan) kejujuran dan transparansi di antara guru, menyemangati pendidik untuk memberi dan menerima masukan profesional serta mendukung satu sama lain
  4. Ketika guru mempercayai siswanya dengan memberikan tanggungjawab yang wajar dan kewenangan yang cukup untuk memenuhinya, hubungan yang sehat antara guru dan siswa di kelas kan lebih berkembang
  5. Kepercayaan kolektif di sekolah secara positif berkaitarn dengan hasil pencapaian belajar siswa di sekolah

--------------------------------- ------------------------------------------------------------

Thursday, 14 Sept 2022, 09.30

Sumber : Pasi Sahlberg & Timothy D Walker, 2022, In Tacher We Trust: Pedoman Finlandia untuk Menjadi Sekolah Bertaraf Dunia, Bagian 1: Faktor X Bangsa Finlandia

Rabu, 13 September 2023

Contoh Umpan Balik Efektif

Umpan balik yang tepat berpengaruh pada motivasi belajar peserta didik. Pemberian umpan balik dilakukan dengan mendeskripsikan usaha terbaik peserta didik, dan membangun kesadaran pemangku kepentingan bahwa proses pencapaian tujuan pembelajaran lebih diutamakan dibandingkan dengan hasil akhir. Salah satu acuan dalam memberikan umpan balik dapat menggunakan tangga umpan balik (ladder of Feedback). Penjelasan terkait tangga umpan balik dapat dibaca pada bagian umpan balik yang efektif.

Berikut penerapan umpan balik terhadap sebuah karya atau kinerja peserta didik:

" Bagaimana kamu tahu gambar ini akan membentuk kubus?" (klarifikasi)

"Gambar kotak-kotak yang kamu buat, hampir sama sehingga mudah jika disusun menjadi bentuk-bentuk kubus." (Nilai)

"Ibu melihat kami menggunakan titik-titik sebagai tanda sudut dan memulai garis. Bagaimana jika kamu menggunakan penggaris agar garisnya lebih lurus?" ( Perhatian)

"jika pada kegiatan selanjutnya, tugas membuat kerangka bangun ruang akan kita laksanakan lagi, pada bagian mana kamu akan melakukan perbaikan?" (Saran)

"Selamat, Nak, telah menunjukkan usaha yang sungguh-sungguh dalam mengerjakan tugas. Ibu juga senang karena kamu mengumpulkan tugas tepat waktu." (Apresiasi)

--------------------------------- ------------------------------------------------------------

Sumber:  Kemdikbud, 2021, Panduan Pembelajaran dan Asesmen, hal: 44. https://online.anyflip.com/fpdeq/wdot/mobile/

Coretan sebelum pulang, 15.30


Umpan Balik Yang Efektif

 Umpan balik yang dimaksud di sini adalah respon guru terhadap kinerja siswa, untuk memastikan tujuan pembelajaran tercapai. Jadi, umpan balik diberikan pada saat proses pembelajaran berlangsung, bukan setelah pembelajaran. 

Di samping itu, umpan balik diharapkan dapat memancing siswa untuk mengeluarkan GAGASAN ORISINAL mereka dalam menemukan, memahami, dan/atau menerapkan konsep/cara menyelesaikan suatu masalah. 

Gagasan orisinal mereka bisa jadi: 

  • sesuai dengan gagasan guru/ahli

  • sesuai dengan gagasan guru/ahli, tetapi kurang lengkap/kaya; atau …

  • salah atau TIDAK sesuai dengan gagasan guru/ahli.

Nah, bagaimana kita, sebagai guru, merespon ketiga kondisi tersebut agar siswa tetap berani/tidak takut salah dalam mengungkapkan gagasan mereka: kalau salah/berbeda dengan guru, bagaimana mereka terinspirasi (dengan respon kita) untuk memperbaiki atau memperkuat alasan mereka; kalau kurang lengkap, bagaimana mereka terinspirasi untuk melengkapi; dan kalau sudah sesuai, bagaimana mereka terinspirasi untuk mengeksplorasi lagi.

Salah satu acuan yang dapat digunakan untuk memberikan umpan balik dapat menggunakan tangga umpan balik (Ladder of Feedback ) yang dikembangkan oleh Daniel Wilson (Wilson et al., 2005). 

Tangga Umpan Balik

Proses umpan balik (feedback) dalam pembelajaran bisa dilakukan oleh guru atau antar siswa. Terdapat lima tangga umpan balik yaitu clarify, value, questions and concernsuggest, dan thank

Clarify yaitu proses mengajukan pertanyaan klarifikasi untuk memahami apa yang disampaikan oleh siswa. Value yaitu mengekspresikan apa yang sudah berhasil. Questions and concern adalah mengajukan beberapa pertanyaan dan memperhatikan beberapa aspek. 
Suggest yaitu menawarkan ide untuk meningkatkan karya siswa. Thank adalah berterima kasih kepada siswa yang diberikan umpan balik.
__________________________________________________________________________________

The original version of the Ladder of Feedback was developed by Daniel Wilson (Wilson et al., 2005).

In King Arthur’s Round Table: How Collaborative Conversations Create Smart Organizations (John Wiley Press, 2003), Dave Perkins writes: 

Communicative feedback clarifies the idea or behavior under consideration, so that everyone is talking about the same thing. It communicates positive features so that they can be preserved and built on. It communicates concerns and suggestions toward improvement.  (page 46) 

The Ladder of Feedback is a tool for providing communicative feedback about an idea, a plan, or a behavior.  (See King Arthur’s Round Table, page 47). 

The idea or plan is presented to the group.  Then the group moves through the following steps (moving from one rung of the ladder to the next): 

Step 1: Clarify

Ask clarifying questions to be sure you understand the idea or matter on the table. Avoid clarifying questions that are thinly disguised criticism.  

Step 2: Value

Express what you like about the idea or matter at hand in specific terms. Do not offer perfunctory “good, but,” and hurry on to the negatives. 

Step 3: State concerns

State your puzzles and concerns. Avoid absolutes: “What’s wrong is . . .” Use qualified terms: “I wonder if . . .” “It seems to me . . .” Avoid criticizing personal character or ability and focus on ideas, products, or particular aspects. 

Step 4: Suggest

Make suggestions about how to improve things.  This step is sometimes blended with step 3: people state concerns and then offer suggestions for addressing them.  

There is no set time limit for this process: It can be done in a few minutes or over the course of an hour.  

Kamis, 10 Agustus 2023

Ice breaker#1: Hitung 20

 

Hitung 20

Pada saat saya mengikuti online course yang dilakukan NIE pada bulan Juli 2023, ada sebuah permainan ice breaking yang ditampilkan oleh fasilitator untuk menjelaskan bagaimana matematika dimanafaatkan untuk memecahkan sebuah permasalah. Judul permainannya adalah “Hitung sampai 20”. Permainan ini dilakukan oleh dua pemain dan masing-masing pemain harus menyebut satu atau dua angka dari angka 1, 2, sampai 20. Pemain yang menyebut angka 20 adalah pemain yang kalah. Sebagai contoh, jika permainan berlangsung seperti ini:

Maka pemain #1 kalah karena dia (mau tidak mau) menyebut angka 20. Sekilas, permainan ini tampak sulit dan tidak ada strategi untuk selalu menang. Namun, sebenarnya kita dapat menemukan strategi untuk menang dalam permainan ini. Perhatikan bahwa, jika kita menyebutkan angka 19, maka lawan pasti kalah karena lawan mau tidak mau harus menyebutkan angka 20. Bagaimana caranya agar kita selalu bisa menyebutkan angka 19? Kita harus menyebutkan angka 16. Hal ini karena, jika kita berhasil menyebutkan angka 16, kita dapat “memaksa” agar kita menyebutkan angka 19: jika lawan menyebutkan angka 17 maka kita bisa menyebutkan angka 18 dan 19, dan jika lawan menyebutkan angka 17 dan 18 maka kita bisa menyebutkan angka 19. Sekarang, bagaimana caranya agar kita selalu bisa menyebutkan angka 16? Dengan alasan yang sama, kita harus menyebutkan angka 13. Mengikuti alasan yang sama terus menerus dapat diperoleh bahwa kita harus menyebutkan angka 10, 7, 4, dan 1 agar kita selalu bisa menyebut angka 19. Dengan kata lain, angka 1, 4, 7, 10, 13, 16, dan 19 adalah posisi menang. Jadi, terlihat bahwa pemain pertama selalu memiliki strategi untuk menang dengan memulai permainan dengan menyebut angka 1, lalu 4, kemudian 7, dst hingga akhirnya 19.

Bagaimana dengan pemain kedua? Dengan asumsi bahwa kedua pemain bermain optimal, pemain kedua akan selalu kalah. Pemain kedua hanya bisa menang apabila pemain pertama melakukan kesalahan sehingga pemain kedua dapat menyebutkan angka posisi menang.

Di akhir permainan ini, panitia menaikkan level kesulitan dengan mengubah permainan menjadi “Hitung sampai 30”. Bagaimana strateginya? Bagaimana kalau “Hitung sampai 40”? Kedua pertanyaan ini tidak dijawab sebagai latihan bagi para pembaca :-)


Senin, 24 Juli 2023

Sistem pendidikan kelas dunia (1)

Apa yang anda lihat ketika memilih sekolah? gurunya, rata-rata ukuran kelas, atau data hasil ujian atau prestasi siswa. Ketika kita sedang mempelajari sebuah sekolah, sebaiknya abaikan semua informasi umum yang didapat. Misalnya, kegiatan open house yang ternyata sangat tidak berguna, study tour, atau anggaran yang dikeluarkan untuk tiap siswa. Begitu sudah memenuhi standar, maka uang sudah tidak lagi dapat disamakan dengan kualitas pendidikan.

 

Rata-rata ukuran kelas? Ternyata tidak sepenting yang dipikirkan banyak orang, kecuali jika itu untuk tahun-tahun awal sekolah. Faktanya, negara dengan kualitas pendidikan tinggi memeiliki kelas yang lebih besar dari Indonesia. Riset menunjukkan jika kualitas proses pengajaran lebih penting daripada ukuran kelas. 

 

Data hasil ujian? Bisa membantu memang, tetapi sangat sulit menerjemahkan hasil itu. Seberapa bagus ujian yang diberika? Apakah sekolah memang memberikan pengajaran lebih banyak dibanding saat anak belajar di rumah? 

 

Cara terbaik melihat kulitas sebuah sekolah adalah dengan meluangkan waktu untuk mengunjungi kelas ketika proses belajar mengajar dilakukan. Tak harus lama, dua puluh menit pun cukup. 

 

Setibanya di kelas, penting untuk memastikan apa yang harus dilihat. Biasanya orang tua cenderung melihat-lihat pajangan hasil kerja siswa yang ditempel di dinding kelas. Namun, saya ada usulan yang lebih baik, lihat para siswanya. 

 

Melihat apakah semua siwa memberikan perhatiannya, menunjukkan minat, dan mau berusaha keras terhadap materi yang diberikan. Jangan melihat tanda-tamda berdasarkan ketertiban. Kadang pengajaran yang baik justru terjadi di sebuah kelas yang berisik di man anak-anak belajar secara berkelompok tanpa campur tangan terlalu banyak dari guru. Sebagian kelas terburuk justru memiliki kondisi hening dan terlihat rapi yang bagi orang dewasa menjadi hal yang menyenangkan. 

 

Ingatlah bahwa pengajaran yang menantang pasti memperlihatkan perjuangan murid-muridnya. Saat anak-anak mengeluhkan tugas, itu belum disebut pengajaran. Itu hanya mengisi jawaban. Tak masalah anak-anak merasa tak nyaman sesekali. Namun penting bagi mereka untuk tidak frustasi atau putus asa dengan tugasnya. 

 

Mereka harus mendapatkan bantuan saat membutuhkan, dan itu bisa jadi dari teman-temannya sendiri. Juga perhatikan bahwa anak-anak seharusnya tidak berlama-lama dalam kekosongan ketika antre makan siang, mengatur tempat duduk melingakar, atau saat proses membagikan kertas. Anda harus mendapati rasa urgensi yang dibangun di kelas itu. 

 

Tahan untuk tidak terlalu fokus pada guru. Di kelas terbaik dunia, guru-guru bisa jadi orang yang pendiam. Namun ada pula yang karismatik dan ada yang mungkin sedikit gila (seperti yang kita ingat di masa sekolah dulu). Kesimpulan Anda tentang guru dari kunjungan singkat tersebut tidak ada apa-apanya dengan yang dirasakan anak-anak saat berhadapan dengan guru itu sepanjang tahun. 

 

Bagaimana ketertarikan siswa pada kunjungan Anda? anak-anak yang memiliki ikatan kuat dengan kelasnya, pasti tidak terlalu memperhatikan. Mereka punya hal yang lebih penting untuk dilakukan. Berbeda dengan anak-anak yang berada di kelas yang membosankan. Mereka akan tersenyum, kadang malu-malu melambaikan tangan, dan segera memberikan tisu kala anda bersin. Waktu terbuang dengan cara yang membosankan, dan mereka sangat membutuhkan pengalih perhatian. 

 

Jika satu kelas teras membosankan di sebuah sekolah, biasanya kelas-kelas lain di sekolah itu juga akan sama membosankannya. Hal ini tidak terjadi di sekolah yang bagus. Coba masuk ke lima kelas di satu sekolah, dan jika hanya ada satu atau dua anak, tak sampai delapan atau sepuluh, yang kurang fokus dan tidak konsentrasi, mak anda akan tahu di situlah tempat belajar yang baik. 

 

Berbincanglah dengan siswa. orang-orang, baik orang tua atau siapapun yang berkunjung ke sekolah jarang yang melihat dari sudut pandang siswa. Semua fokus pada guru, kepala sekolah, gedung, atau malah majalah dinding. Anak-anak diangap masih terlalu kecil untuk memahami yang mereka alami, sementara mereka yang lebih senior dianggap tak akan memberi jawaban valid karena mereka sudah bosan, kehilangan antusiasme sekolah. Padahal itu semua tidak benar. Selama anda memberikan pertanyaan yang cerdas, para siswa adalah sumber paling jujur dan berguna untuk memberikn testimoni. 

 

Jangan mengajukan pertanyaan, "Apakah kamu menyukai guru itu?" atau " Apakah kamu menyukai sekolahmu?" Bayangkan ada orang asing bertumbuh tinggi tersenyum, tiba-tiba bertanya kepada Anda. "Apakah Anda menyukai pimpinan?" Anda langsung khawatir, jangan-jangan Anda bisa mencelakakan Anda. Apalagi dalam beberapa kasus, menyukai seseorang guru tidak sama artinya dengan mendapat pengajaran yang bagus dari guru itu. Untuk itu ajukan pertanyaan yang spesifik, sopan, dan memiliki makna mendalam. 

 

Pertanyaan pertama itu sebaiknya, Apa yang sedang kalian lakukan? kenapa? 

 

Anda akan terkejut mengetahui banyak anak yang bisa cepat menjawab pertanyaan pertama, tetapi terdiam di pertanyaan kedua. Padahal pertanyaan kedua itu penting dijawab. Ketika masuk sekolah, anak harus tahu tujuannya ke sekolah hari itu, setiap harinya. 

 

Pada tahun 2011, penelitan Yayasan Gates merilih hasil studi yang menunjukkan jika jawaban anak-anak atas pertanyaan spesifik yang mereka ajukan mampu meramalkan perkembangan nilai ujian mereka. Jawaban itu lebih bisa diandalkan sebagai patokan ketimbang observasi kelas dilakukan pengamat terlatih. 

 

Ketika anda berkunjung ke kelas, ada beberap poin pertanyaan yang memiliki korelasi tinggi pada pengajaran dan bisa ditanyakan kepada siswa. Di antaranya, 

1. Apakah kalian belajar banyak hal di kelas ini setiap hari?

2. Apakah kalian di kelas bersikap sesuai dengan apa yang diinginkan para guru?

3. Apakah kelas kalian selalu sibuk dan tidak ada waktu kosong yang terbuang sia-sia?

 

Pertanyaan semacam itu hanya bisa dijawab oleh siswa. Tujuannya untuk meningkatkan kualitas pengjaran guru dengan cara yang cerdas dan relatif murah. Jika ada kepala sekolah atau guru yang menggunakan survei ini di kelasnya, kemudian sungguh-sungguh mempelajari hasilnya supaya bisa melakukan sejumlah perbaikan, maka itu tanda sekolah tersebut menjanjikan. 

 

Ada juga satu pertanyaan lagi yang bisa diajukan ke siswa yaitu, " Jika kalian tidak mengerti suatu hal, apa yang akan kalian lakukan? " Kelas dengan anak-anak yang serius dan belajar pasti tahu jawabannya. 

Kamis, 04 Mei 2023

Mengajar di luar Sekat, Panggilan untuk Berkolaborasi

Kolaborasi dengan guru lain sangat penting untuk mengembangkan kemampuan mengajar guru. Tapi sayangnya para guru masih menganggap bahwa mengajar adalah sebuah pekerjaan dalam sekat. Mengajar dipandang hanya  sebatas kelas dan mata pelajaran. Hal ini menyebabkan kegiatan mengajar dan sekolah terisolasi dari dunia nyata. Kondisi ini sangat merugikan dan membuat profesi guru tidak berkembang

Untuk mengenali apakah Anda lebih suka berkolaborasi dengan sesama guru atau tetap berada di kelas, cobalah mengerjakan kuis berikut. 

  1. Saya merasa nyaman dengan metode saya mengajar dan sama sekali tidak ingin mengubahnya
  2. Ketika ada kejadian menarik di kelas, saya tidak terlalu suka menceritakannya kepada rekan-rekan saya
  3. Ketika ada orang yang datang ke kelas untuk melihat saya mengajar, saya merasa dihakimi
  4. Persoalan pribadi dan pekerjaan rekan kerja di sekolah bukan urusan saya
  5. Jika tidak ada masalah, saya tidak perlu berkomunikasi dengan guru dari tingkat kelas atau mata pelajaran
  6. Saya kurang sabar terhadap guru yang terlalu suka menceritakan tentang apa yang terjdi di kelasnya
  7. Saya bekerja di sekolah bukan untuk mencari teman. Saya bekerja di sekolah untuk mengajar
  8. Apa yang dilakukan oleh guru-guru lain di kelas mereka tidak memperngaruhi saya
  9. Saya tidak akan terlalu menganggap serius masukan tentang cara saya mengajar dari orang di luar tingkat kelas atau mata pelajaran saya
  10. Saya tidak akan secara sukarela memimpin pengmbangan keprofesian karena apa yang saya lakukan di kelas saya belum tentu cocok dengan orang lain.
  11. Satu-satunya kesempatan saya bertemu sebagian besar rekan kerja di sekolah adalah saat rapat staf dan kegiatan pengembangan keprofesioan secara luas di sekolah
  12. Pekerjaan saya yang paling penting adalah memimpin kegiatan belajar mengajar di kelas
Lihat berapa banyak Anda menjawab YA dalam kuis diatas. Jika lebih dari 2 atau 3 point maka anda sedang berada didalam sekat kelas. 

Jika anda menyadari bahwa Anda lebih suka sendiri atau tetap di kelas maka anda sedang tersekat. Penting untuk menanyakannya kepada Anda sendiri mengapa anda tersekat, karena sekat-sekat itu dapat menjadi pertanda masalah lebih besar yang berkaitan dengan kinerja Anda. 

Ken Blanchard, Jane Ripley, Collaboration Begins with You: Be a Silo Buster, Ken Blanchard, menguraikan lima elemen yang disingkat dengan UNITE untuk meningkatkan berkolaborasi dengan orang lain: 
  • Utilize differences ( manfaatkan perbedaan)
  • Nurture safety and trust ( tumbuhkan rasa aman dan saling percaya)
  • Involve others in crafting a clear purpose, values, and goals (libatkan orang lain dalam menentukan tujuan, nilai-nilai, dan cita-cita yang jelas
  • Talk openly ( berbicara secara terbuka)
  • Empower yourself and other (berdayakan diri sendiri dan orang lain)
"Mengajar bukanlah pertandingan olahraga melainkan sebuah kerja sama. Menjalin hubungan dan kerjasama secara produktif sangat penting untuk mencapai tujuan pembelajaran bersama-sama"

Selamat berkolaborasi.

Selasa, 28 Maret 2023

Student Reflection: A Tool for Growth and Development

Reflect is what educators do. College professors give value to reflecting on pedagogical practice. Administrators expect us to reflect on our practice in instructional evaluations. Inservice instructors ask us to reflect on what we learned from each training session.

As teachers reflecting on ways to enhance our daily instruction, we ask: How did the students respond to the day’s lesson? Were the objectives met? How could we better manage our time? What methods might engage our students?

As a middle school teacher, I found myself asking similar questions until I realized: who better to ask than the students themselves? After all, I might believe a lesson was absolutely wonderful—it seemed as though every student was attentive and focused on the classroom activity—but what if I was wrong? What if my students weren’t getting all that I hoped they would from our time together?

So, I implemented student reflection as a weekly component of my classroom instruction. Every Friday, students spent 10–15 minutes reflecting on our week together. They responded to four key questions that prompted personal reflection:

What did you learn this week?

What activities helped you to learn?

What activities did you find engaging?

What questions or comments do you have for me?

Student reflections guided my classroom teaching and lesson planning as I had hoped, but I was surprised by the unexpected benefits it brought to the students. An activity intended to suit my own instructional needs became an activity that inspired connection, openness, diversity, metacognition, and sense of community for my students.

Here are some of the ways reflection benefits students.

Recognition of Mastery

To start their weekly reflection, students took stock of what they learned in our class that week. They could look through their class notebooks and calendars for a quick reminder of the daily objectives and activities. Then, they focused on what they, personally, took from the week’s classroom activities.

For the most part, students shared an aspect of class content that really resonated with them. For example, after a week dedicated to plot structure and character development, Mary shared how she learned about the steps of characterization along with key ways to develop a relatable character. Meanwhile, Thomas discussed how he learned more about climax and the way in which a text can hold the reader’s attention.

By reflecting on what they learned, students were able to identify their newfound knowledge and see their own growth and awareness of the content.

Self-Awareness and Character Development

In educating the whole child, we hope to reach beyond content and grasp the heart of the student. In addition to sharing content knowledge, students often shared what they learned in terms of their own self-awareness and inner character.

For instance, during the discussion of a short story in which the main character was bullied by his older brother, a student volunteered to share his own experience at the hands of a bully. Students engaged in a deep, impromptu conversation regarding bullying. As a result, many of them reflected on this discussion in their weekly reflection log. They discussed in detail what the classroom conversation taught them about the lives and experiences of their classmates.

In addition, they expressed what they believed the conversation revealed about their role in such a situation, or their personal experience with bullying. It opened their eyes to the realities of bullying and inspired them to reflect on ways in which they could reach out and help someone in need.

Diversity and Relationships

In the same vein, students sometimes reflected on what they learned about the cultures and life experiences of their classmates. As students engaged in group discussions, they shared personal connections and insights into their own lives and experiences.

In reflecting on the week, students shared what they learned about how the life and culture of a classmate was different from their own. They considered the implication of knowledge for them both inside and outside class.

Thinking About Learning

We want our middle level students to think about their own learning, to identify their own learning needs and the manner in which their individual needs are addressed in the classroom. In this way, they can grow in their sense of autonomy and self-efficacy. Which strategies seem to work best in helping them master content? Are they visual, auditory, or perhaps kinesthetic learners? How do they learn best?

After identifying what they learned, students reflected on how they learned. What activities seemed to help them the most? Which component of the day’s lesson was the most effective in drawing and holding their attention? For instance, was it the daily bell work that seemed to help them understand and master course material? Did the foldable actively engage them? Did they prefer to work independently or in a small group setting?

Students shared the strategies and activities they believed helped them master the course content as well as the class activities they found to be the most engaging. In this way, they reflected on their own learning, strengths, and needs.

Dialogue

Finally, student reflection is an effective way to inspire and enhance dialogue between the teacher and student. So often, students are hesitant to ask essential questions or engage in important conversation with the teacher. Through weekly reflections, they have the opportunity to ask questions and share information through written dialogue. Through written reflections, students often shared things that confused them about the week’s content or lessons. They asked extended questions about the week’s objectives, or sought clarification on information shared during class lessons

In addition, students occasionally reached out for support or encouragement. For example, I noticed a student was not quite himself in class but I couldn’t identify the problem. In his reflection, he shared that there was trouble at home, and family turmoil was causing him to fall behind in his coursework. Consequently, we were able to provide him assistance and support in class and through our guidance department.

Tools for Growing

Weekly student reflections provide students the opportunity to grow in their content knowledge, metacognition, and self-awareness, and to strengthen a sense of class community. In addition to providing insight into my own classroom instruction, it gave me a chance to really know and appreciate the diversity within each of my middle level learners.

Their reflections demonstrate the many aspects of learning and development taking place in the middle school classroom every day. Student reflection on learning is a powerful tool in any middle level classroom.

By By: Brooke B. Eisenbach

Copas WAG. Kelas Kreatif. Senin, 28 Maret 2023


Kamis, 23 Maret 2023

Pembelajaran Berbasis Projek, bukan Sekedar Melakukan Projek

Apa beda beda melakukan projek (doing project) dan pembelajaran berbasis projek (PjBL)? Mengutip penjelasan dari https://www.pblworks.org dijelaskan bahwa melakukan projek dapat dianalogikan dengan  hidangan penutup, sedangkan PjBL dianalogikan dengan hidangan utama. Jika dikaitkan dengan proses pembelajaran maka melakukan projek dapat diandaiakan dengan kegiatan akhir atau pendukung dari suatu proses pembelajaran, sedangkan kegiatan PjBL dapat disamakan dengan kegiatan inti dari sebuah proses pembelajaran. 

Berikut beberapa perbedaan melakukan projek dengan PjBL dikutip https://www.pblworks.org/doing-project-vs-project-based-learning sebagai berikut: 

Table with two columns. Column 1 is: Dessert or Doing a Project. 1. An add-on to the traditional 
instruction; at the end 
(or alongside) of the unit; 2. Follows direction of the teacher; 3. Focused on product; 4. Often unrelated to 
standards and skills; 5. Can be completed alone 
and/or at home; 6. Remains within the 
school world; 7. End result of project 
displayed in the classroom. Column 2 is: Main course or Project Based Learning. 1.Instruction integrated into the project (The project is the unit!); 2.Driven by student inquiry; 3.Focused on product and process; 4.Aligned to academic standards  and success skills; 5.Involves collaboration with students  and in-class guidance from teacher; 6.Has a real-world  context and application; 7.Results of project shared beyond  the classroom with a public audience

untuk lebih memahami perbedaan melakukan projek dengan PjBL silahkan ikuti simulasi berikut:

https://view.genial.ly/63f4c335a3545b00119cfa51/guide-simulasi-project-based-learning


Pembelajaran berbasis projek berarti kita belajar dari projek yang kita lakukan. Projek sebagai media untuk belajar tentang materi yang dipelajari. 

Semoga bermanfaat.


Maret, 24,2003





Kombinasi Berbagai cara Menyampaikan Pembelajaran

  Ragam cara melaksanakan pembelajaran: ceramah, kegiatan individu, dan kegiatan kelompok. Dalam melaksanakan pembelajaran, berbagai kombina...