Selasa, 31 Mei 2016

Kami butuh pendidikan, bukan sekolah

Beberapa tahun terakhir ini kita menyaksikan sekolah menjadi bagian dari masalah, bukan bagian dari solusi. Tidak sedikit guru mengajarkan kebohongan justru di sekolah. Sing jujur malah ajur. Guru lebih mengharapkan jawaban yang benar dari murid-muridnya, bukan jawaban yang jujur. Menyontek dianggap biasa. Banyak kekerasan justru terjadi di sekolah secara fisik maupun non-fisik. Guru lebih mudah marah bila murid datang tidak berseragam daripada jika ia tidak membawa buku. 

Sekolah hanya tempat guru mengajar, bukan tempat murid belajar. Sekolah menjadi penjara, ruang yang sempit bagi ekspresi multi-ranah dan multi-cerdas murid. Boleh dikatakan tidak banyak kompetensi yang bisa dipelajari di sekolah. Kreativiti dimatikan, penjelajahan gagasan-gagsan baru tidak terjadi. Proses pembelajaran diabdikan untuk tes dan drills kognitif pilihan-ganda bertubi-tubi, serta formalisme kronis telah membuat sekolah kehilangan joyfull learning and teaching. Karakter siswa terbengkalai kalau bukan dihancurkan justru di sekolah. Belajar hampir tidak pernah lagi bermakna bagi murid. Alih-alih menjadi solusi, sekolah saat ini adalah bagian dari masalah pendidikan. Semakin lama bersekolah justru semakin tidak mandiri, semakin mudah menganggur. Jumlah pengangguran sarjana meningkat tajam. Dalam tataran ini, mustahil proses pendidikan dapat digunakan untuk mengubah individu, yang terjadi justru pendidikan menjadi mekanisme reproduksi sosial. Substansi pendidikan yang tidak didasarkan pada kebutuhan masyarakat adalah proses pendidikan yang percuma, tidak memberi banyak manfaat bagi masyarakat, kemudian pendidikan yang dimanifestasikan dalam institusi sekolah hanyalah sebuah candu (Topatimasang, 1999). 

Pada dasarnya pendidikan bertujuan mempersiapkan siswa dengan kemampuan-kemampuan tertentu yang dibutuhkannya untuk menghadapi masa yang akan datang (opportunity.  Pendidikan yang diterapkan seharusnya berbasis pada proses pendidikan kritis yang membebaskan, yang pada akhirnya mampu menghasilkan manusia kritis, sadar mengenai realitas sosial yang ada di sekitarnya. Pendidikan kritis tidak akan menghasilkan manusia bodoh, tidak ada dikotomi bodoh dan pintar, yang ada adalah manusia yang unik, tidak ada manusia yang sama, setiap manusia pasti memiliki keunikan tersendiri. Keunikan inilah yang menyebabkan setiap individu memiliki kebutuhan yang berbeda-beda, tugas sekolah seharusnya memfasilitasi berkembangnya keunikan tersebut. Pendidikan kritis akan menghasilkan manusia kritis yang mampu mengubah dirinya menuju keadaan yang lebih baik. Praktik pendidikan sejatinya merupakan pendidikan kritis yang membebaskan, bukan pendidikan yang memaksakan. 

Pendidikan jelas bukan sekedar persekolahan. Pendidikan tidak ada kaitannya dengan lamanya seseorang bersekolah. Wajib belajar tidak sama dengan wajib sekolah.  Kesuksesan sebuah sistem pendidikan diukur dari kemampuannya untuk mempersiapkan siswa menghadapi dunia yang dihadapainya kelak dimasa yang akan datang. Krisis lahir saat kita gagal membedakan keduanya. Kesalahan terbesar sekolah adalah berusaha terlalu keras untuk memberi pesan dan kesan sebagai satu-satunya tempat belajar. Kita lupa bahwa sekolah hanyalah sebuah instrumen untuk mencapai tujuan pendidikan, bukanlah tujuan dari pendidikan.  


sumber :
Pritchett, Lant. 2013. The Rebirth of Education: Schooling Ain't Learning. Washinghton : Center for development
Rasyid, Daniel. 2013. Belajar bukan sekolah. Dapat dilihat di www.danierasyid.com 

Guru Baru, bukan Kurikulum Baru

Melihat potret pendidikan kita selama paling tidak satu dekade ini, sulit untuk tidak mengatakan bahwa pendidikan kita saat ini sesungguhnya dalam krisis. Setelah hasil Uji Kompetesni Guru jeblog, lalu rangkaian tawuran melanda sekolah dan kampus dengan korban tewas berjatuhan,
belum lagi hasil evaluasi internasional yang menempatkan kinerja pendidikan Indonesia di papan bawah, Kemendikbud merespons dengan ide merombak kurikulum.

Salah satu yang banyak dikeluhkan walimurid adalah kurikulum yang overloaded, pembelajaran yang direduksi menjadi drills dan try-outs dengan tes-tes berformat pilihan-ganda yang dilakukan bahkan jauh sebelum Ujian. Kemudian anak-anak ini harus les berbayar hingga malam. Begitulah pendidikan di sekolah-sekolah sudah terdisorientasi hanya sekedar untuk menguasai kompetensi tingkat rendah yang tidak penting bagi kehidupan abad 21. 

Sementara pembelajaran sudah menjadi sekedar strategi untuk lulus ujian, guru semakin mengalami krisis kepercayan dari murid-muridnya sendiri saat mereka sibuk di berbagai lembaga "bimbingan tes". Krisis ini memperparah kenyataan bahwa guru telah dibiarkan lama terbengkalai bertahun-tahun, dan upaya perbaikan guru tidak dilakukan dengan sungguh-sungguh. Kemudian guru kehilangan kepercayaan dari Pemerintahnya sendiri saat kewenangan penentuan kelulusan murid-muridnya dirampas untuk diserahkan pada mesin pemindai Ujian Nasional yang dikoordinasikan oleh Jakarta. Berikutnya adalah sekolah kehilangan kepercayaan bahkan dari murid-muridnya sendiri saat mereka harus berpaling ke lembaga-lembaga kursus untuk lulus Ujian Nasional, padahal kebocoran soal UN terjadi di mana-mana. 

Saat sekolah mulai kehilangan kepercayaan dari masyarakatnya, Kemendikbud justru merancang pembelajaran yang semakin lama di sekolah. Dengan guru seburuk saat ini, dan sarana belajar seterlantar saat ini, berlama-lama di sekolah justru semakin buruk bagi murid. IKIP sudah sepuluh tahun lebih tidak yakin lagi untuk focus pada khittahnya mendidik calon guru Indonesia. Kemudian IKIP berubah menjadi universitas, mengurusi bidang-bidang non-kependidikan yang sudah diurus oleh unversitas lain yang sudah bertahun-tahun lebih dulu menekuninya. Sebelum menjadi universitas, IKIP dalam kondisi hidup segan mati tak mau, dan setelah menjadi unversitas
kematiannya diresmikan. Sementara itu, di luar kelaziman, sertifikasi guru telah berlangsung dilakukan oleh LPTK eks-IKIP. Padahal sebagai profesi, pembinaan guru seharusnya diserahkan pada organisasi profesi guru. Best practice nya demikian untuk profesi-profesi lain seperti dokter, insinyur, arsitek, pengacara dan akuntan. Sertifikasi guru harus dilakukan oleh organisasi profesi guru, bukan oleh LPTK, apalagi Pemerintah. Untuk menjadi profesi yang terpercaya, guru harus disertifikasi oleh lembaga yang independen dan mandiri agar guru tidak mudah dipolitisasi dan diintimidasi oleh birokrasi dan partai politik. Organisasi profesi guru inilah yang menetapkan kode etik guru dan menegakkan etika profesi guru.

Dalam situasi banyak guru yang bermental pegawai, tidak mandiri dan tidak kompeten, serta sarana sekolah yang seadanya, pergi ke sawah membantu ayah bercocok tanam, atau melaut mencari ikan jelas lebih berguna daripada ke sekolah. Lebih banyak yang bisa dipelajari anak di alam terbuka daripada di ruang-ruang kelas yang sempit, kumuh dan bocor : keberanian, kepatuhan, ketrampilan, dan kecintaan pada lingkungan. Menghadapi guru dengan mentalitas pegawai, murid-murid itu justru belajar menjadi penakut, sementara kreativitinya dikerdilkan. Kita membutuhkan guru baru, bukan kurikulum baru. Kurikulum terbaik sekalipun pasti akan gagal di tangan guru yang tidak kompeten. Sebaliknya, di tangan guru yang kompeten, kurikulum yang sederhana akan menghasilkan proses belajar yang bermutu.

Patut disesalkan jika alih-alih secara konsisten memberi kepercayaan dan menguatkan profesi guru, Kemendikbud justru bermain-main dengan otak-atik kurikulum baru, sementara kurikulum yang sebelumnya (Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan -KTSP) tidak dievaluasi secara transparan dan akuntabel. Kurikulum yang dialami (learned curriculum) murid tidak pernah bisa lebih baik dari mutu guru yang melaksanakannya. Tentu jelas otak-atik kurikulum jauh lebih mudah dilakukan daripada memperbaiki mutu guru dan menjadikannya sebagai profesi yang independen. Kurikulum yang terbaik bagi anak adalah kehidupan seharihari yang meneladankan cara hidup yang baik di luar sekolah : sehat, jujur, adil dan produktif. Sesungguhnyalah belajar bertujuan hanya satu : memperbaiki praktek kehidupan sehari-hari, membentuk tradisi baru yang lebih baik. Jika belajar adalah perayaan atas kehidupan anugerah Tuhan, maka belajar akan membentuk budaya baru sebagai proses memaknai kehidupan. Anak petani menjadi petani yang lebih baik dari ayahnya. Anak nelayan menjadi nelayan yang lebih baik dari ayahnya. Perempuan muda menjadi ibu yang lebih baik dari ibunya. Jika kita mengharapkan sebuah bonus demografi dalam beberapa dekade mendatang ini, perombakan besar pada filosofi, tata kelola, kebijakan, dan program pendidikan perlu dengan berani dilakukan. Di zaman internet ini, belajar semakin tidak memerlukan sekolah. Yang kita perlukan adalah sebuah jejaring belajar (learning webs) yang lentur dan luwes di mana pembelajar bisa belajar di mana saja dan kapan saja serta dengan siapa saja sebagai bagian dari hidup berbudaya. Pendidikan universal tidak mungkin dilakukan melalui pendekatan persekolahan belaka. Jika guru tidak berubah, dia akan menjadi dinosaurus, negeri ini akan menjadi Jurassic Park.

Sumber :
Rosyid, Daniel. 2014. Belajar, bukan sekolah : Agenda deschooling untuk Indonesia.



Senin, 30 Mei 2016

Mengapa orang tua kurang menghormati guru?


Banyak orang tua yang ramah, mendukung, dan bersemangat untuk bekerja dengan guru untuk memastikan anak-anak mereka mendapatkan pendidikan yang terbaik. Tapi ada sejumlah besar dari orang tua yang tampaknya memiliki masalah dengan guru. Mereka tidak menunjukkan penghormatan, dan tidak selalu terlibat banyak dengan guru. Penasaran dengan kondisi ini, saya mencoba mencari alasan penyebab kurangnya rasa hormat untuk guru?

Menurut learningcraft.com, kurangnya rasa hormat terhadap guru bisa terjadi dikarenakan hal-hal berikut :  

Status
Pada masa lalu guru adalah orang yang paling terpelajar di masyarakat. Belum banyak orang tua yang terpelajar dan lulus universitas, sehingga pengaruh guru terhadap pendidikan sangat kuat.
Saat ini tidaklah demikian. Orang tua siswa adalah orang yang terpelar dan sudah banyak yang lulus dari universitas. Mereka juga banyak yang berpengaruh dalam masyarakat. Guru tidak lagi memiliki pengaruh yang besar dalam kehidupan mereka. Para orang tua ada yang bekerja pagi sampai malam, tidak seperti guru yang hanya bekerja pagi sampai siang ( begitulah anggapan mereka, padahal guru itu mengajar selama 24 ) dan hanya dalam ruang kelas yang nyaman. Para orang tua menuntut tanggung jawab dan kerja keras yang lebih untuk pendidikan mereka. Hal yang sebenarnya tidak bisa mereka lakukan tanpa kehadiran guru. 

Attitude
Sikap orang tua telah mengalami perubahan. Pada masa lalu , jika Anda mendapat masalah di sekolah misalnya masalah disiplin atau nilai rendah, Anda tidak hanya mendapat nasehat atau teguran dari guru ( jika sangat buruk oleh kepala sekolah), Anda mungkin mendapatkan nasihat atau teguran dua kali lebih banyak di rumah. Saat ini, tidaklah demikian. Sekarang banyak orang tua dengan asumsi bahwa anak kesayangannya pasti benar, dan oleh karena itu jika anak tidak disipin dan mendapatkan nilai yang rendah, pasti gurunyalah yang salah. Jadi mereka merasa berhak untuk menyerang dan menyalahkan guru.
Penyebab kondisi ini sangat kompleks. Pertama, orang tua tertekan dari segi waktu. Seringkali kedua orang tua harus bekerja, atau ada orang tua tunggal (single parents) yang bekerja sendiri. Orang tua harus berbuat lebih banyak untuk memenuhi kebutuhan. Hasilnya adalah orang tua seringkali kekelahan dan menekan banyak kemarahan mereka tidak memiliki kesabaran untuk melihat lebih dalam apa yang terjadi dengan anak-anak mereka.  Memang , bagian dari reaksi berlebihan mereka mungkin karena rasa bersalah . Karena mereka tidak menghabiskan cukup waktu dengan atau pada anak-anak mereka, dan mencoba menjadi orang tua yang baik dengan membela anak mereka dihadapan guru.   

Pemahaman
Orang tua tidak benar-benar memahami apa yang dilakukan guru. Karena orang tua telah berkunjung ke sekolah lima atau enam kali, mereka menganggap memahami apa yang telah terjadi di dalam kelas. Orang tua hanya tahu bahwa guru hanya mengajar, membuat rencana pembelajaran, dan menilai. Mereka juga berpikir bahwa guru hanya mengajar dari pagi hingga siang kemudian memiliki banyak hari libut. Tentu saja, jika sebagian besar orang tua yang mencoba mengaja selama beberapa minggu, perspektif mereka mungkin berubah, tapi kemungkinan itu terjadi cukup tipis. 

Politik 
Politik juga bisa menjadi penyebab mengapa guru tidak mendapat penghargaan yang layak. Dahulu pendidikan jauh dari kepentingan politik.  Saat ini, politik menjadi tuannya pendidikan. Pendidikan dimanfaatkan menjadi alat untuk mencapai sebuah tujuan individu atau golongan tertentu. Sebagian besar birokrat saat ini telah using dan hanya baik dalam ide-ide dan teori, tapi dangkal dalam pengalaman actual. Terlalu sering mereka mengikuti informasi dari orang-orang bodoh yang tidak mengerti tentang pendidikan.
Lebih buruk lagi, ketika sistem pendidikan salah maka semua akan mencarai kambing hitam. Para guru menjadi sasaran yang mudah karena guru tidak pernah keberatan terhadap apapun yang dilakukan oleh kementrian pendidikan. Guru hanya taat dan patuh mengikuti apa yang telah diciptakan oleh pemerintah. Kondisi ini menjadi langkah strategi politik yang mudah untuk menjadikan guru sebagai kambing hitam seluruh persoalan pendidikan dengan melabeli guru kata-kata malas dan tidak kompeten, padahal sesungguhnya merekalah yang bodoh karena mendengar pendapat dari orang-orang yang tidak mengerti tentang pendidikan.

Sabtu, 28 Mei 2016

Memahami Kecerdasan Majemuk - Menjangkau Semua Anak

Berawal dari riset yang dilakukan oleh Howard Garder melalui project Zero untuk melihat potensi manusia. Howard Gardner dengan serius mempertanyakan keabsahan penilaian potensi individu melalui tes-tes yang dinyatakan dalam satu angka atau nilai "IQ". Menurutnya penafsiran kecerdasan di masyarakat kita terlalu sempit. Gardner menyatakan bahwa kecerdasan lebih berkaitan dengan kapasitas (1) memecahkan masalah dan (2) menciptakan produk di lingkungan yang kondusif dan alamiah. Gardner memetakan lingkup kemampuan manusia yang luas menjadi delapan kategori yang komprehensif atau delapan “ kecerdasan dasar”.

Dongeng yang terdapat di buku In the own way: Discovering and encouraging your child’s multiple intelligences (1987) karya Thomas Armstrong berikut, menarik untuk memahami terori kecerdasan majemuk temuan Howard Gardner. Menyadari dan mengembangkan dan mengembangkan semua ragam kecerdasan dan kombinasi-kombinasinya adalah hal yang terpenting. Dengan menyadari hal ini, setidaknya kita lebih punya peluang menangani berbagai masalah yang kita hadapi di dunia ini dengan baik. Dengan mempercayainya kita sepakat, bahwa semua anak adalah anak yang berbakat. Tiap-tiap anak terlahir ke dunia dengan potensi yang unik, yang jika dipupuk dengan benar dapat turut memberikan sumbangan bagi dunia yang lebih baik.  Tantangan terbesar bagi orang tua dan guru adalah menyingkirkan batu besar yang menghalangi jalan mereka dalam menemukan, mengembangkan, dan merayakan anugerah yang mereka miliki itu. selamat membaca dan menarik makna. 


Suatu ketika terbetiklah sebuah kabar yang menggegerkan langit dan bumi. Kabar itu berasal dari dunia binatang. Menurut cerita itu, para binatang besar ingin membuat sekolah untuk para binatang kecil. Mereka para binatang besar itu, berencana menciptkan sebuah sekolah yang didalamnya akan diajarkan mata pelajaran memanjat, terbang, berlari, berenang, dan menggali.

Anehnya, mereka tidak dapat mengambil kata sepakat tentang subjek mana yang paling penting. Mereka akhirnya memutuskan agar semua murid mengikuti seluruh mata pelajaran yang diajarkan. Jadi, setiap murid harus mengikuti mata pelajaran memanjat, terbang, berlari, berenang, dan menggali.
Sekolah pun dibuka dan menerima murid dari pelbagi pelosok hutan. Pada saat-saat awal dikabarkan bahwa sekolah berjalan lancer. Seluruh murid dan pengajar di sekolah itu menikmati segala kebaruan dan keceriaan. HIngga tibalah pada suatu hari yang mengubah keadaan sekolah itu.

Tersebutlah salah satu murid bernama kelinci. Kelinci jelas adalah binatang yang piawai berlari. Ketika mengikuti kelas berenang, kelinci ini hampir tenggelam. Pengalaman memgikuti kelas berenang ternyata mengguncang batinnya. Lantaran sibuk mengurusi pelajaran berenang, si Kelinci ini pun tak pernah lagi dapat berlari secepat sebelumnya.
Setelah kasus yang menimpa kelinci, ada kejadian lain yang cukup memusingkan pengelola sekolah. Ini melanda murid lain bernama Elang. Elang, jelas sangat pandai terbang. Namun, ketika mengikuti kelas menggali, si Elang ini tidak mampu menjalankan tugas-tugasa yang diberikan kepadanya. Akhirnya, ia pun harus mengikuti les perbaikan menggali. Les itu ternyata menyita waktunya sehingga ia pun melupakan cara terbang yang sebelumnya sangat dikuasainya.

Demikianlah kesullitan demi kesulitan ternyata melanda juga ke diri binatang kain seperti bebek, burung pipit, bunglon, ular dan binatang kecil lain. Pada binatang kecil itu tidak mempunyai kesempatan lagi untuk berprestasi dalam bidang keahlian mereka masing-masing. Ini lantaran mereka dipaksa melakukan hal-hal kecil yang tidak menghargai sifat alami mereka.

Sumber bacaan :
Armstrong, Thomas. 2004. Menerapkan multiple intelligences di sekolah. Jakarta : PT. Mizan Pustak 
Gardner, Howard. 1993. Multiple Intelligences : The theory in practice. New York : Basic Books

Kombinasi Berbagai cara Menyampaikan Pembelajaran

  Ragam cara melaksanakan pembelajaran: ceramah, kegiatan individu, dan kegiatan kelompok. Dalam melaksanakan pembelajaran, berbagai kombina...