Dari kenyataan bahwa vaksin untuk virus ini masih butuh waktu sekitar 18 bulan lagi, terlalu berkhayal berharap pendidikan segera kembali seperti saat prawabah.
Kedaruratan yang dihela wabah Covid-19 telah berhasil
memaksa institusi pendidikan dan pendidik merevolusi dirinya. Hanya dalam waktu
kurang dari dua minggu, cara pengajaran konvensional di dunia berhenti. Sudah
lebih dari satu miliar pelajar di dunia, yang tadinya belajar di sekolah,
sekarang terhenti.
UNESCO melaporkan, sekitar 830 juta pelajar tak memiliki
akses ke komputer. Lebih dari 40 persen pelajar tak memiliki akses internet di
rumahnya untuk dapat melanjutkan pendidikannya lewat gawai.
Kenyataan parahnya ketimpangan akses informasi digital telah
melumpuhkan pendidikan bagi kalangan terpinggirkan. Keadaan ini akan jadi bola
salju permasalahan sosial di kemudian hari, seperti pengangguran, kriminal,
kemiskinan, dan kerapuhan jejaring kemasyarakatan.
Di saat yang sama, pendidikan telah mengubah praktiknya
secara mendasar dan cepat. Jika sebelumnya siswa terutama belajar di sekolah,
kini justru hanya belajar di rumah. Jika sebelumnya siswa dipaksa belajar dan
diawasi guru, sekarang siswa perlu mengelola proses belajarnya sendiri. Setiap
rumah dituntut bertransformasi jadi self organized learning environment (SOLE):
lingkungan dengan insan di dalamnya mengelola proses belajarnya sendiri.
Gagasan swaajar atau mengajar diri sendiri mungkin
sebelumnya dianggap sebuah khayalan terlalu indah untuk terwujud. Juga mungkin
swaajar dianggap hanya diperlukan daerah terpencil yang kurang guru. Namun,
sekarang justru semua orang harus menggantungkan pada kecakapan swaajarnya.
Tiap orang tak dapat lagi menunggu ketersediaan orang lain
untuk mengajar dirinya. Tiap orang harus menjadi guru bagi dirinya serta
mendorong dirinya sendiri untuk belajar. Tiap orang harus kasmaran belajar.
Sebagian institusi pendidikan menyiasati krisis ini dengan
menggunakan teknologi belajar, tetapi yang patut dikritisi ialah tetap
diteruskannya sejumlah praktik pembelajaran, persis seperti masa normal
sebelumnya.
Kenyataan parahnya ketimpangan akses informasi digital telah
melumpuhkan pendidikan bagi kalangan terpinggirkan.
Di tengah wabah ini, misalnya, tindakan administrasi
pendidikan bekerja seperti sebelumnya. Pendidik masih dibebani laporan yang
sama seolah-olah situasi normal. Administrasi masih menunggu laporan
pembelajaran dari kelas maya. Bukankah sangat membantu pendidik sekaligus mudah
jika staf administrasi turut sit-in atau masuk ke kelas maya untuk mengamati
proses belajar-mengajar yang terjadi, tak perlu menunggu laporan pendidik?
Kehidupan baru perlu pemikiran baru.
Pendidikan ke depan
Kemewahan bangunan sekolah seperti tak penting lagi saat
ini. Wabah kali ini justru mengingatkan para pendidik untuk fokus kembali pada
isu utama, yakni mutu belajar. ”Tahu bukan keju,” demikian Prof Yong Zhao
mengiaskan pendidikan di tengah wabah ini (Zhao, 2020.)
Kiasan ini mengingatkan bahwa sekolah dan praktik pendidikan
konvensional sudah terhenti, maka jangan anggap seolah-olah sekolah masih
normal. Yang paling utama, bagaimana pelajar dan guru dapat mengorkestra proses
belajar-mengajar sebaik-baiknya di tengah krisis ini. Penentu kebijakan harus
fokus pada pertanyaan ini.
Harus diakui, sarana teknologi belajar dan internet yang
tersedia di daerah terpencil belum dapat menggantikan keseluruhan kegiatan
belajar-mengajar sebelumnya. Namun, ada beberapa hal yang justru lebih baik
jika dilakukan melalui teknologi belajar ketimbang secara konvensional.
Pada fungsi penyebaran pengetahuan yang bersifat satu arah,
misalnya, rekaman video sudah dapat menggantikan fungsi ceramah guru. Lebih
baiknya, potongan video yang diunggah di internet ini tersimpan dan dapat
disimak siswa secara personal atau disesuaikan dengan diri siswa serta kondisi
masing-masing, seperti mengatur kecepatan menyimaknya.
Jika diperlukan, tiap siswa dapat menghentikan ceramah itu
sehingga siswa dapat melihat catatannya dulu sebelum melanjutkan. Di kelas
konvensional bermurid 40 atau lebih, sulit menghentikan pengajaran demi
menyesuaikan kecepatan belajar satu per satu siswa.
Kenormalan baru
Dari kenyataan bahwa vaksin untuk virus ini masih butuh
waktu sekitar 18 bulan lagi, terlalu berkhayal berharap pendidikan segera
kembali seperti saat prawabah. Dalam upaya menjaga jarak, kapasitas jumlah
murid tiap sekolah ke depan harus diturunkan jadi setengahnya, interaksi nyata
guru-murid dan murid-murid akan berkurang drastis, kehadiran murid dan guru
jadi tak teratur, sejumlah metode pembelajaran yang lalu jadi tak relevan
(Dans, 2020). Bahkan, perguruan tinggi besar seperti Universitas Harvard di AS
memutuskan hanya menyediakan layanan kuliah daring pada 2020.
Perubahan ini permanen, teknologi belajar mau tak mau harus
jadi salah satu bagian utama pendidikan seterusnya. Sudah tak mungkin lagi
menganggap teknologi belajar sekadar pemanis
atau gincu pendidikan, apalagi menganggap teknologi belajar
sebagai pengancam profesi guru. Justru banyak tugas guru yang sifatnya rutin,
administratif, dan prosedural sudah sebaiknya diserahkan ke teknologi.
Kenyataan sekarang rumah telah menjadi sekolah dan orangtua
menjadi guru menyadarkan bahwa pembuatan konten bagi guru dan murid untuk
belajar ke depan harus banyak yang disatukan. Anak dan orangtua lebih baik
belajar bersama, bukan orangtua memaksa anak dengan menuruti pengalaman
belajarnya dahulu.
Belajar lebih efektif sekaligus mengasyikkan jika anak
bersama orangtua mempelajari suatu pengetahuan atau keterampilan secara
berkolaborasi di tengah wabah ini. Demikian pula guru dan murid ke depan harus
duduk sama tinggi untuk berkolaborasi belajar bersama.
Krisis ini menunjukkan usangnya cara berpikir berurutan
dalam strategi pelatihan guru, yaitu membenahi pendidikan dengan meningkatkan
kecakapan mengajar guru, baru kemudian guru akan meningkatkan proses
membelajarkan ke siswa. Cara berpikir sequential atau antrean ini lamban sekaligus
mahal. Juga akan mengorbankan 1-2 generasi pelajar dengan pendidikan ala
kadarnya.
Perubahan ini permanen, teknologi belajar mau tak mau harus
jadi salah satu bagian utama pendidikan seterusnya.
Peningkatan kecakapan guru sekaligus penyediaan pembelajaran
bermutu bagi siswa harus dilakukan secara bersamaan dan lewat satu medium.
Seperti langkah yang sudah dilakukan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan
menyebarkan pengajaran lewat TVRI mulai pertengahan April dapat dimanfaatkan
guru sekaligus siswa untuk belajar. Program pelatihan guru konvensional yang
dilaksanakan dengan guru harus meninggalkan sekolah merugikan murid.
Cara lama itu harus ditinggalkan. Pendidik juga perlu
merevolusi sistem evaluasi hasil belajar. Ada institusi pendidikan yang ekstrem
memutuskan meluluskan semua pelajarnya, ada juga yang ekstrem menguji dengan
cara persis sama seperti prawabah. Yang pasti, sistem evaluasi sebelumnya yang
menekankan pada prinsip kerahasiaan dan kekakuan jadwal perlu dikritisi.
Prinsip kepercayaan dan kindness atau kebaikan justru harus jadi prinsip utama
evaluasi pendidikan ke depan.
Selamat merevolusi pendidikan dan mengarungi kenormalan
baru.
(Prof. Iwan Pranoto, Pengajar Matematika Institut Teknologi
Bandung, Mei 2020)
https://kompas.id/baca/opini/2020/05/02/revolusi-pendidikan-2/