Senin, 18 Oktober 2021

Lebih cerdas, lebih cepat dan lebih baik


" Siapa pun dapat belajar untuk sukses dengan lebih sedikit stres dan perjuangan, dan menjadi lebih pintar, lebih cepat, dan lebih baik dalam segala hal yang Anda lakukan"


Kutipan tulisan diatas adalah inti dari buku yang baru saya beli bulan lalu ini.  Ditulis oleh seorang penulis fenomena terlaris New York Times, The Power of Habit, buku ini mengeksplorasi ilmu produktivitas, dan mengapa, di dunia sekarang ini, mengelola cara Anda berpikir — bukan apa yang Anda pikirkan — dapat mengubah hidup Anda.

Inti dari Smarter Faster Better adalah delapan konsep utama — mulai dari motivasi dan penetapan tujuan hingga fokus dan pengambilan keputusan — yang menjelaskan mengapa beberapa orang dan perusahaan menyelesaikan begitu banyak hal. Berdasarkan temuan terbaru dalam ilmu saraf, psikologi, dan ekonomi perilaku — serta pengalaman para CEO, reformis pendidikan, jenderal bintang empat, agen FBI, pilot pesawat, dan penulis lagu Broadway — buku yang diteliti dengan susah payah ini menjelaskan bahwa orang-orang paling produktif , perusahaan, dan organisasi tidak hanya bertindak berbeda.

Kedelapan gagasan dalam buku ini dihubungkan oleh satu asas yang kuat yang mendasari: Produktivitas bukanlah perihal bekerja lebih banyak atau bercucuran keringat lebih deras. Produktivitas bukan sekedar hasil menghabiskan jam kerja lebih panjang di meja Anda dan membuat pengorbanan yang lebih besar.

Justru produktivitas adalah perihal membuat pilihan-pilihan tertentu dalam cara tertentu. Cara kita memilih untuk memandang diri sendiri dan membingkai keputusan-keputusan sehari-hari; kisah-kisah yang kita tuturkan kepada diri sendiri, dan sasaran-sasaran sederhana yang kita abaikan; perasan senasib sepenanggungan yang kita bangun diantara kawan-kawan satu tim; budaya kreatif yang kita mantapkan sebagai pemimpin: Itulah hal-hal yang membedakan antara sekedar sibuk dan benar-benar produktif.  

Ini adalah buku mengenai bagaimana mengenali pilihan-pilihan yang mengegerakkan produktivitas sejati. Ini adalah panduan mengenai sains, teknik dan kesempatan yang telah mengubah kehidupan banyak orang. Ini adalah buku mengenai bagaimana menajadi lebih cerdas, lebih cepat, dan lebih baik dalam segala hal yang anda lakukan.  

Berikut saya spill sedikit tentang isi buku ya...

________________________________________-

Sekelompok ilmuwan data di Google memulai studi selama empat tahun tentang bagaimana tim terbaik berfungsi, dan menemukan bahwa cara suatu kelompok berinteraksi lebih penting daripada siapa yang ada dalam kelompok tersebut — ternyata sebuah prinsip yang juga membantu menjelaskan alasannya. Saturday Night Live menjadi hit.

Seorang jenderal Korps Marinir, yang dihadapkan dengan semangat rendah di antara para calon anggota, menata ulang kamp pelatihan — dan menemukan bahwa menanamkan “bias terhadap tindakan” dapat mengubah bahkan remaja yang paling tidak memiliki arah menjadi orang yang berprestasi dan memiliki motivasi diri.

Para pembuat film di balik Disney's Frozen hampir kehabisan waktu dan berada di ambang bencana — sampai mereka mengubah tim mereka dengan cara yang tepat, memicu terobosan kreatif yang menghasilkan salah satu film terlaris sepanjang masa.

Apa kesamaan yang dimiliki orang-orang ini?

Mereka tahu bahwa produktivitas bergantung pada pengambilan pilihan tertentu. Cara kita menyusun keputusan sehari-hari; ambisi besar yang kita anut dan tujuan mudah yang kita abaikan; budaya yang kita bangun sebagai pemimpin untuk mendorong inovasi; cara kita berinteraksi dengan data: Ini adalah hal-hal yang membedakan mereka yang sibuk dengan mereka yang benar-benar produktif.

Mereka memandang dunia dan pilihan mereka dengan cara yang sangat berbeda.

__________________________________________________________________________________

Kamis, 02 September 2021

Revolusi Pendidikan


Dari kenyataan bahwa vaksin untuk virus ini masih butuh waktu sekitar 18 bulan lagi, terlalu berkhayal berharap pendidikan segera kembali seperti saat prawabah.

Kedaruratan yang dihela wabah Covid-19 telah berhasil memaksa institusi pendidikan dan pendidik merevolusi dirinya. Hanya dalam waktu kurang dari dua minggu, cara pengajaran konvensional di dunia berhenti. Sudah lebih dari satu miliar pelajar di dunia, yang tadinya belajar di sekolah, sekarang terhenti.

UNESCO melaporkan, sekitar 830 juta pelajar tak memiliki akses ke komputer. Lebih dari 40 persen pelajar tak memiliki akses internet di rumahnya untuk dapat melanjutkan pendidikannya lewat gawai.

Kenyataan parahnya ketimpangan akses informasi digital telah melumpuhkan pendidikan bagi kalangan terpinggirkan. Keadaan ini akan jadi bola salju permasalahan sosial di kemudian hari, seperti pengangguran, kriminal, kemiskinan, dan kerapuhan jejaring kemasyarakatan.

Di saat yang sama, pendidikan telah mengubah praktiknya secara mendasar dan cepat. Jika sebelumnya siswa terutama belajar di sekolah, kini justru hanya belajar di rumah. Jika sebelumnya siswa dipaksa belajar dan diawasi guru, sekarang siswa perlu mengelola proses belajarnya sendiri. Setiap rumah dituntut bertransformasi jadi self organized learning environment (SOLE): lingkungan dengan insan di dalamnya mengelola proses belajarnya sendiri.

Gagasan swaajar atau mengajar diri sendiri mungkin sebelumnya dianggap sebuah khayalan terlalu indah untuk terwujud. Juga mungkin swaajar dianggap hanya diperlukan daerah terpencil yang kurang guru. Namun, sekarang justru semua orang harus menggantungkan pada kecakapan swaajarnya.

Tiap orang tak dapat lagi menunggu ketersediaan orang lain untuk mengajar dirinya. Tiap orang harus menjadi guru bagi dirinya serta mendorong dirinya sendiri untuk belajar. Tiap orang harus kasmaran belajar.

Sebagian institusi pendidikan menyiasati krisis ini dengan menggunakan teknologi belajar, tetapi yang patut dikritisi ialah tetap diteruskannya sejumlah praktik pembelajaran, persis seperti masa normal sebelumnya.

Kenyataan parahnya ketimpangan akses informasi digital telah melumpuhkan pendidikan bagi kalangan terpinggirkan.

Di tengah wabah ini, misalnya, tindakan administrasi pendidikan bekerja seperti sebelumnya. Pendidik masih dibebani laporan yang sama seolah-olah situasi normal. Administrasi masih menunggu laporan pembelajaran dari kelas maya. Bukankah sangat membantu pendidik sekaligus mudah jika staf administrasi turut sit-in atau masuk ke kelas maya untuk mengamati proses belajar-mengajar yang terjadi, tak perlu menunggu laporan pendidik? Kehidupan baru perlu pemikiran baru.

Pendidikan ke depan

Kemewahan bangunan sekolah seperti tak penting lagi saat ini. Wabah kali ini justru mengingatkan para pendidik untuk fokus kembali pada isu utama, yakni mutu belajar. ”Tahu bukan keju,” demikian Prof Yong Zhao mengiaskan pendidikan di tengah wabah ini (Zhao, 2020.)

Kiasan ini mengingatkan bahwa sekolah dan praktik pendidikan konvensional sudah terhenti, maka jangan anggap seolah-olah sekolah masih normal. Yang paling utama, bagaimana pelajar dan guru dapat mengorkestra proses belajar-mengajar sebaik-baiknya di tengah krisis ini. Penentu kebijakan harus fokus pada pertanyaan ini.

Harus diakui, sarana teknologi belajar dan internet yang tersedia di daerah terpencil belum dapat menggantikan keseluruhan kegiatan belajar-mengajar sebelumnya. Namun, ada beberapa hal yang justru lebih baik jika dilakukan melalui teknologi belajar ketimbang secara konvensional.

Pada fungsi penyebaran pengetahuan yang bersifat satu arah, misalnya, rekaman video sudah dapat menggantikan fungsi ceramah guru. Lebih baiknya, potongan video yang diunggah di internet ini tersimpan dan dapat disimak siswa secara personal atau disesuaikan dengan diri siswa serta kondisi masing-masing, seperti mengatur kecepatan menyimaknya.

Jika diperlukan, tiap siswa dapat menghentikan ceramah itu sehingga siswa dapat melihat catatannya dulu sebelum melanjutkan. Di kelas konvensional bermurid 40 atau lebih, sulit menghentikan pengajaran demi menyesuaikan kecepatan belajar satu per satu siswa.

Kenormalan baru

Dari kenyataan bahwa vaksin untuk virus ini masih butuh waktu sekitar 18 bulan lagi, terlalu berkhayal berharap pendidikan segera kembali seperti saat prawabah. Dalam upaya menjaga jarak, kapasitas jumlah murid tiap sekolah ke depan harus diturunkan jadi setengahnya, interaksi nyata guru-murid dan murid-murid akan berkurang drastis, kehadiran murid dan guru jadi tak teratur, sejumlah metode pembelajaran yang lalu jadi tak relevan (Dans, 2020). Bahkan, perguruan tinggi besar seperti Universitas Harvard di AS memutuskan hanya menyediakan layanan kuliah daring pada 2020.

Perubahan ini permanen, teknologi belajar mau tak mau harus jadi salah satu bagian utama pendidikan seterusnya. Sudah tak mungkin lagi menganggap teknologi belajar sekadar pemanis

atau gincu pendidikan, apalagi menganggap teknologi belajar sebagai pengancam profesi guru. Justru banyak tugas guru yang sifatnya rutin, administratif, dan prosedural sudah sebaiknya diserahkan ke teknologi.

Kenyataan sekarang rumah telah menjadi sekolah dan orangtua menjadi guru menyadarkan bahwa pembuatan konten bagi guru dan murid untuk belajar ke depan harus banyak yang disatukan. Anak dan orangtua lebih baik belajar bersama, bukan orangtua memaksa anak dengan menuruti pengalaman belajarnya dahulu.

Belajar lebih efektif sekaligus mengasyikkan jika anak bersama orangtua mempelajari suatu pengetahuan atau keterampilan secara berkolaborasi di tengah wabah ini. Demikian pula guru dan murid ke depan harus duduk sama tinggi untuk berkolaborasi belajar bersama.

Krisis ini menunjukkan usangnya cara berpikir berurutan dalam strategi pelatihan guru, yaitu membenahi pendidikan dengan meningkatkan kecakapan mengajar guru, baru kemudian guru akan meningkatkan proses membelajarkan ke siswa. Cara berpikir sequential atau antrean ini lamban sekaligus mahal. Juga akan mengorbankan 1-2 generasi pelajar dengan pendidikan ala kadarnya.

Perubahan ini permanen, teknologi belajar mau tak mau harus jadi salah satu bagian utama pendidikan seterusnya.

Peningkatan kecakapan guru sekaligus penyediaan pembelajaran bermutu bagi siswa harus dilakukan secara bersamaan dan lewat satu medium. Seperti langkah yang sudah dilakukan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan menyebarkan pengajaran lewat TVRI mulai pertengahan April dapat dimanfaatkan guru sekaligus siswa untuk belajar. Program pelatihan guru konvensional yang dilaksanakan dengan guru harus meninggalkan sekolah merugikan murid.

Cara lama itu harus ditinggalkan. Pendidik juga perlu merevolusi sistem evaluasi hasil belajar. Ada institusi pendidikan yang ekstrem memutuskan meluluskan semua pelajarnya, ada juga yang ekstrem menguji dengan cara persis sama seperti prawabah. Yang pasti, sistem evaluasi sebelumnya yang menekankan pada prinsip kerahasiaan dan kekakuan jadwal perlu dikritisi. Prinsip kepercayaan dan kindness atau kebaikan justru harus jadi prinsip utama evaluasi pendidikan ke depan.

Selamat merevolusi pendidikan dan mengarungi kenormalan baru.

(Prof. Iwan Pranoto, Pengajar Matematika Institut Teknologi Bandung, Mei 2020)

https://kompas.id/baca/opini/2020/05/02/revolusi-pendidikan-2/

Selasa, 06 Juli 2021

Fokus Yang Jelas: Menemukan aspek terpenting sekolah Kristen

Tidak ada yang lebih buruk daripada fokus yang kabur. Fokus yang kabur ini berkisar dari yang sederhana seperti noda kotoran di kacamata, sampai kepada melihat sesuatu melalui teleskop yang tidak terfokus. Ada yang tidak beres. Kita melihat gambaran yang berkabut, tidak jelas, dan tidak tajam. Di dalam aktivitas tertentu yang menuntut presisi atau ketepatan, maka kekaburan semacam ini dapat menyebabkan kesalahan perhitungan atau kesalah yang mahal.

Bagi kita yang terlibat dalam pelayanan pendidikan Kristen, fokus yang salah dapat menghasilkan perbedaan dalam hal pertumbuhan rohani seorang siswa selama ia menjadi tanggung jawab kita. 

Fokus yang kabur sering menghambat kemampuan kita untuk secara penuh menjalani kehidupan Kristen yang penuh kemenangan dan melayani orang lain dengan kepastian rohani, untuk memampukan mereka agar tetap dipimpin oleh Roh. Banyak orang Kristen dikalahkan oleh dosa dan rasa bersalah di dalam hidup mereka sehingga mereka tidak memiliki keyakinan untuk mendorong orang lain bertumbuh secara rohani. 

Ada beberapa sumber yang turut menyebabkan fokus yang kabur di dalam pelayanan. Dosa, keegoisan, dan sikap mengandalkan diri muncul dalam pikiran. Semuanya ini muncul ketika kita mengijinkan fokus yang salah bersaing dengan fokus yang benar. Kita melepaskan pandangan kita dari Yesus dan dari orang-orang yang seharusnya kita layani ketika Ia memanggil kita, dan kita menjadi terpaku pada diri kita. 

Sumber-sumber lainnya yang menyebabkan fokus yang kabur meliputi kekhawatiran, gangguan dan kelesuan. Ketiganya muncul ketika kita mengijinkan ketakutan menggantikan iman, sehingga hal ini secara perlahan-lahan menghancurkan fokus kita. Jika hal ini terjadi, seperti orang buta dalam Markus 8, kita perlu mengizinkan Yesus menyembuhkan kita sepenuhnya dari dosa kita dan dari konsekuensi-konsekuensinya yang menghancurkan kita, untuk memampukan kita melihat Dia dengan Fokus yang jelas. 

Jika kita jujur, kata fokus terasa mengintimidasi dan melelahkan. Kata itu menuntut kerja keras dan kebersengajaan untuk berfokus pada sesuatu. Namun kita menyadari bahwa keunggulan menuntut fokus. Kita menghormati dan menghargai fokus yang dimiliki orang-orang seperti Bill Gates dan Steve Jobs karena komitmen mereka kepada teknologi merevolusi cara kita menjalani kehidupan kita. Kita mengagumi bangsa Swiss karena jam mereka, masing-masing dibuat dengan presisi dan integritas. 

Kita mengharapkan fokus seperti itu dari orang-orang yang melayani kita. Kita menjadi tidak sabar jika orang-orang yang melayani kita melakukan pekerjaan sekaligus. Bayangkan saja seorang tukang kasir di toko makanan atau seorang pelayan di restoran yang melayani kita sambil berbicara atau menerima telepon. Atau adakah diantara kita yang ingin anaknya dioperasi oleh seorang ahli bedah otak yang tidak terfokus perhatiannya? Tentu saja tidak. 

Di dalam pelayanan sekolah Kristen, kita telah menerima hak istimewa untuk melayani sebagai para artisan yang terampil bagi Tuhan kita, memperlengkapi para siswa kita-para mahakarya Allah yang diciptakan dalam Kristus Yesus-untuk melakukan pekerjaan baik yang telah disiapkan-Nya bagi mereka (Efesus 2:10). Jadi fokus bukan pilihan melainkan keharusan. 

Fokus pada siapa, bukan apa

Banyak hal dapat mengalihkan perhatian kita dalam pelayanan sekolah Kristen. Banyak diantaranya yang baik, kurikulum, rencana pelajaran, tugas, email, rapat, rencana strategis, anggaran, gedung, aktivitas ekstrakurikuler dan acara, semuanya merupakan hal-hal yang esensial dalam sebuah sekolah Kristen. Mereka bagaikan perahu dan dayung di dalam pelayanan Yesus ke seberang, yang sangat diperlukan untuk mengantar Dia kepada tugas-tugas pelayananNya berikutnya. Sekolah Kristen juga memerlukan banyak sekali sumber untuk secara efektif menyelesaikan misi mereka. Namun ketika hal-hal ini menjadi fokus yang menjadi prioritas melebihi pribadi-pribadi, kita jadi dialihkan dan tidak berbuah. Kita membangun pabrik-pabrik pembuatan perahu dan sekolah-sekolah mendayung, tetapi kehidupan tidak diubahkan karena tidak ada "siapa" di dalam pelayanan kita. Kita mengubah fokus kita kepada nilai sumber pelayanan potensial dan bukan menyadari bahwa hal yang paling bernilai di dalam sekolah Kristen adalah Tuhan Yesus dan orang-orang yang harus kita layani di dalam panggilan-Nya kepada kita. 

Oleh karena itu, kita harus mulai mengubah perspektif kita dari pertanyaan yang sering kita ajukan dalam pelayanan yang biasanya fokus pada "apa" menjadi "siapa, karena sebetulnya pertanyaan "apa" adalah pertanyaan sekunder bukan pertanyaan paling utama dalam pelayanan sekolah kristen. 

Ketika kita mulai berfokus sungguh-sungguh pada siapa, kita mulai dilepaskan dari tirani apa, yang merampas sukacita dalam kehidupan dan pelayanan kita. Yesus secara sempurna meneladankan hal ini bagi kita. Ikutlah denganNya setiap kali Ia melayani, dan Anda akan melihat bahwa Ia selalu berfokus pada suatu pribadi. Dan itu jugalah seharusnya menjadi fokus kita.

Fokus yang Jelas, Fokus pada Yesus

Begitu kita memahami pentingnya berfokus pada Pribadi yang benar di dalam eksistensi kita, kita akan dapat mulai memahami bagaimana berfokus secara tepat pada pribadi-pribadi lain dalam hidup kita. Manusia itu penting bagi Allah, dan karena alasan inilah, mereka seharusnya penting bagi kita. Bahkan, mereka selayaknya menjadi fokus kita karena mereka menjadi fokusNya. 

Saat kita berfokus pada Tuhan, kita akan segera belajar bahwa fokus dari perhatiannya adalah pada ciptaan-Nya yang berharga, yang diciptakan dalam gambar rupa-Nya. Kita akan takjub oleh fakta bahwa Ia mengasihi manusia yang adalah duplikat diriNya. Meskipun mereka sudah tercemar dan hancur karena dampak dosa yang menghancurkan, Ia rindu agar mereka dapat sepenuhnya dipulihkan, Ia meratapi mereka dengan belas kasihan. Ia rindu agar mereka kembali menikmati persekutuan yang intim dengan Allah tritunggal.

Renungkanlah lagu berikut: 

Pandanglah pada Yesus, 
O pandang wajah-Nya Mulia  
Isi dunia menjadi suram 
oleh sinar kemulian-Nya (Helen H. Lemmel)

Kata-kata Helen H. Lemmel, sang penulis lagu diatas terinspirasi dari seorang penulis dan seniman bernama Lilias Trotter. Kasih dan pangilannya bagi pelayanan misi kepada oang-orang non Kristen di Algeria telah membuat ia melepaskan kecintaanya kepada seni untuk berfokus dengan lebih sempurna kepada Yesus. 

Berikut ini adalah cuplikan dari traktatnya, which passion will prevail (hasrat mana yang akan menang)? 

"Di dunia yang aman, bukanlah hal yang mudah untuk menjalankan secara bersamaan enam hal sekaligus-seni, musik, ilmu sosial, permainan, otomotif, menjalani suatu profesi, dan seterusnya. Dan di antara semua itu kita menghadapi resiko terhanyut, yang baik dapat menyamarkan yang terbaik. Mudah bagi kita untuk mengetahui apakah kehidupan kita terfokus, dan jika ya, di manakah fokus itu berada? Kemanakah pikiran pikiran kita tertuju ketika kita bangun di pagi hari? Ke manakah pikiran kita tertuju ketika tidak ada lagi tekanan sepanjang hari? Milikilah keberanian untuk menghadapinya bersama dengan Allah, dan meminta-Nya menunjukkan kepada Anda apakah segalanya benar-benar tertuju pada Kristus dan kemuliaan-Nya. Tujukan visi jiwamu kepada Yesus, dan pandanglah Dia, dan segala sesuatu yang berda di luar Dia akan tampah suram".

Fokus yang jelas dapat membuahkan hasil di dalam keadaan apa pun, tetapi hasilnya akan lebih baik lagi ketika sesuatu yang kekal menjadi taruhannya. 

Sebagai para pendidik di sekolah Kristen, target kita tidak terbuat dari kertas, dan skor kita tidak dihitung dengan angka. Kita mempengaruhi kehidupan para siswa kita dengan setiap kesempatan yang Allah berikan kepada kita untuk mempengaruhi mereka demi kepentingan Yesus Kristus. Kita tidak boleh gagal mempertahankan fokus yang jelas supaya kita dapat memandang mereka melalui mata iman Yesus, mengasihi mereka dengan belas kasihanNya, dan melayani mereka dengan kekuatanNya. 

Siapakah fokus kita di sekolah tempat kita mengajar atau memimpin? Siapakah fokus Anda? Yesuskah? Apakah Ia sungguh-sungguh menjadi pribadi yang paling signifikan di dalam kehidupan, sekolah dan pelayanan anda? Atau, apakah tirani dari segala hal lainnya telah menggantikan Dia? Roh Kudus kiranya menolong kita untuk menemukan fokus yang jelas di sekolah kita masing-masing. Tuhan memberkati.

Senin, 05 Juli 2021

Mengapa Perlu Transformasi

Setiap penugasan baru membawa lingkungan kerja, tantangan dan permasalahan yang baru. Tantangan kita adalah bagaimana kita melaksanakan tugas kita dengan baik, berhasil dan memenuhi harapan pemberi tugas. 

Pada tahap awal, yang kita lakukan adalah mengenal dan mencari tahu permasalahan dalam unit atau organisasi agar dapat dicarikan jalan keluar atau solusinya. Pertanyaanya, apakah solusi atau jalan keluar yang biasa-biasa saja dapat menyelesaikan permasalahan? Dalam banyak kasus, penyelesaian yang biasa-biasa saja tidak mampu menyelesiakan permasalahan. Lagi pula, kalau permasalahannya simple, penyelesaiannya tentu sudah dilakukan oleh pemimpin sebelum kita. 

Banyak sekali kasus atau permasalahan yang tidak bisa diselesaikan dengan cara yang biasa-biasa saja. Permasalahan tersebut hanya bisa diselesaikan dengan perubahan besar. Maka, perlu transformasi besar yang mencakup banyak aspek dan bersifat menyeluruh. 

Transformasi perlu selalu dilakukan karena lingkungan bisnis/sekolah berubah. Lingkungan sekolah tersebut dapat berubah berupa teknologi baru, keinginan pelanggan yang berubah, perubahan dalam regulasi, atau isu lingkungan hidup. Transformasi juga harus dilakukan dalam hal sumber daya manusia, karena mayoritas pegawai yang bekerja pada organisasi kita tergolong generasi mienial. Kita menjadi saksi dari perusahaan-perusahaan besar yang gagal mentransformasi dirinya untuk menyesuaikan diri dengan lingkungan yang berubah, seperti kodak dan Nokia. 

Selain itu, transformasi diperlukan karena "dibutuhkan cara berbeda untuk hasil yang berbeda". Hampir tidak mungkin kita menggunakan cara yang sama dari masa lalu, tetapi mengharapkan hasil yang berbeda. Cara yang sama selalu menghasilkan hasil yang sama. Tantangan bagi seseorang yang mendapat penugasan baru adalah mencari dan menemukan cara atau strategi baru untuk memecahkan permasalahan organisasi atau memenangkan persaingan. 

Kita juga perlu melakukan transformasi karena " selalu ada ruang untuk perbaikan". Di perusahaan atau seolah sebaik apa pun, selalu ada hal yang perlu diperbaiki, dikembangkan, dan ditingkatkan. The largest room in the world is the room for improvement. 

Yang terakhir, dan sangat penting, nasib sebuah sekolah atau organisasi berada di tangan 'people' dalam organisasi itu sendiri. Tidak ada cara yang lebih baik untuk memperbaiki dan meningkatkan kinerja sekolah selain segenap komponen didalamnnya mengupayakan perubahan dan transformasi. Tuhan tidak akan merubah nasib suatu sekolah atau organisasi kecuali orang-orang dalam organisasi sungguh-sungguh melakukan transformasi. Sekali lagi, nasib kita ada di tangan kita sendiri 

Catatan sore di Sumatera Roestery, Medan, Sumatera Utara, sambil menikmati avocado coffe.
Tulisan ini adalah salah satu bagian dari buku "Leadership Series: Execution Matters! Rencana Tidak Mengubah Apa-apa", karya Zulkifli Zaini, mantan Dirut Utama Bank Mandiri dan saat tulisan ini dibuat dipercaya sebagai Dirtu PLN (https://id.wikipedia.org/wiki/Zulkifli_Zaini)

Selasa, 01 Juni 2021

Ukuran Keberhasilan Sekolah

Dalam berbagai kesempatan, kita sering membicarakan kondisi sekolah kita. Mungkin pada suatu saat di masa lalu kita pernah merasa puas dan bangga terhadap sekolah kita, tetapi pada hari-hari ini tak jarang diantara kita merasa jengkel, kwatir, atau bahkan nyaris putus asa, lebih–lebih saat membandingkan sekolah kita dengan sekolah lain. Dulu sekolah kita termasuk sekolah favorit, tetapi mengapa kini justru sangat tertinggal? Sebaliknya, ditengah arus perubahan, ada yang sama sekali tidak merasa risau, bahkan merasa puas serta merasa kondisi dan posisi sekolahnya baik-baik saja.

Di antara kita, mungkin juga ada yang merasa sampai kapanpun sekolahnya tak pernah bisa berprestasi mengingat berbagai keterbatasan, diantaranya lokasinya yang ada di pelosok, sarana prasaran yang serba minim, relative rendahnya kualitas siswa yang mendaftar. Benarkan sekolah di pelosok tak akan pernah berpeluang untuk menjadi berkualitas? Benarkah sekolah dengan sarana dan prasarana serba minim dan dengan kulitas siswa baru yang relative rendah tidak akan bisa menjadi sekolah yang mampu menghasilkan lulusan berkualitas?

Berbagai perbincangan seperti itu umunya lebih banyak didasarkan pada intuisi. Cara penilaiannya pun lebih banyak bersifat subyektif. Karena itu, tidaklah mengherankan jika kita seakan-akan tidak berdaya untuk membuat perubahan meski kita sering membicarakannya. 

Umumnya kita lebih sering mengukur tingkat pencapaian hasil, tetapi jarang mengukur tingkat keefektifan strategi dan tindakan penentu hasil. Tingkat keberhasilan yang diukurpun sering hanya yang bersifat popular di mata masyarakat, seperti persentase kelulusan murid dalam ujian nasional, jumlah calon murid baru yang mendaftar, peringkat akreditasi sekolah, keberhasilan para murid dalam olimpiade matematika dan sain, jumlah dan ragam kejuaraan pialanya dapat direbut para murid sekolah, dan penambahan saran dan prasaran sekolah.

Ihwal pencapaian hasil sebenarnya memiliki bobot edukasi justru jarang dievaluasi. Bobot edukasi itu diantaranya berapa banyak murid yang semula belum lancar membaca kini gemar membaca, yang tadinya tertinggal dalam pelajaran kini menyukai belajar dan mulai mampu menyamai prestasi teman-teman lainnya, berapa banyak murid yang terinspirasi untuk menjadi ilmuwan, wirausaha, atau agen perubahan social saat mempelajari topic pembelajaran, berapa banyak murid yang mampu berpikir kreatif dan inovatif serta mengalami perkembangan signifikan dalam kecakapan memecahkan masalah.

Berbicara tentang tingkat pencapaian hasil inipun, kita sering belum bisa mengukurnya dengan jujur. Keberhasilan dalam ujian nasional, misalnya, diwarnai berbagai kecurangan demi sekolah dapat dinilai berhasil. Ada juga sekolah yang beberapa bulan sebelum ujian nasional mengundang lembaga bimbingan belajar tertentu untuk melaksanakan latihan soa-soal bagi para muridnya. Sekolah seakan tak lagi berdaya mengantar anak-anaknya untuk berhasil dalam ujian nasional. Lalu apa arti dan kontribusi semua upaya pembelajaran yang dilakukan sekolah selama beberapa tahun sebelumnya?

Hal itu kian menjadi memprihatinkan karena strategi atau tindakan yang diperlukan untuk mencapai sebuah keberhasilan sering luput dari perhatian pengelola sekolah. Tak jarang sekolah hanya melakukan rutinitas yang itu-itu saja, tetapi mengharapkan adanya penigkatan pencapaian hasil. Adanya tuntutan pencapaian hasil yang sangat kuat dalam waktu relatif singkat membuat banyak sekolah terjebak untuk memilih upaya-upaya instan dalam menyiapkan para muridnya agar mampu memenuhi target. Proses pembelajaran tidak lagi dilakukan sebagai suatu proses mencari, menemukan, dan membangun, tetapi cenderung bersifat memberi tahu dan menyuruh para murid menghafalkan saja berbagi fakta dan informasi.

Sumber bacaan: Anite Lie, Praktik Baik Pendidikan

Kamis, 13 Mei 2021

Memulihkan Sekolah, Memulihkan Manusia


Jack Ma dalam Forum Ekonomi Dunia di Dahar pada tahun 2019 mengungkapkan bahwa sebagian besar lapangan pekerjaan manusia akan direbut oleh Artificial Intellegence (AI), saya suka menyebutnya manusia buatan...hehehe. 

Bukan saja AI bisa menguasai keahlian manusia diberbagai bidang itu, bahkan dalam banyak hal AI akan menunjukkan kinerja yang lebih baik daripada manusia, karena kebebasannya dari kelemahan-kelemahan manusiawi, termasuk dalam hal gangguan emosi, bias-bias kognitif, keterlambatan berfikir dan lain sebagainya. Bahkan mendiang Stephen Hawking meramalkan akan terjadinya kiamat kemanusiaan dengan dominasi AI dimasa yang akan datang.

Pendidikan yang Memanusiakan

Kalau mau ringkas, tujuan upaya pendidikan adalah memanusiakan manusia. Dengan kata lain, pendidikan adalah suatu kegiatan untuk mengaktualkan potensi manusia sehingga benar-benar menjadi manusia sejati. Yakni mengaktualkan berbagai potensinya untuk dapat benar-benar menjadi manusia yang sejahtera dan berbahagia.

Mengutip ungkapan E.F.Schumacher dalam buku klasiknya, small is beautiful, pendidikan kita hendaknya tak hanya menekankan pada know how, tetapi justru harus mengembangkan aspek know why-nya, yakni makna (meaning) dari kemampuan dan keterampilan yang kita miliki itu dalam mencapai kebahagian hidup.

Artificial Intellegence: Akhir Atau Awal?

Untuk merespon hal ini, kita perlu mulai dengan mengkaji batas-batas kemampuan manusia dan batas-batas kemampuan AI. Apakah manusia saat ini sudah mencapai batas akhir kemampuannya? Atau



sesungguhnya, manusia masih memiliki kemampuan yang jauh lebih besar daripada yang telah tereksplorasi sampai sejauh ini? Atau jangan-jangan masih banyak kemampuan manusia yang begitu luhur sehingga secanggih apapun perkembangan AI nantinya, tetap saja tak bisa digantikan sepenuhnya olehnya.

Perlu ditegaskan bahwa manusia bukanlah AI, betapapun canggihnya. Selain kekuatan fisik dan kemampuan berpikir, manusia adalah makhluk yang--terutama--memiliki jiwa dan hati. Dan, sebagaiman kemampuan fisik serta kemampuan berpikir harus dikembangkan dan diaktualkan, maka demikian pula halnya dengan kemampuan jiwa dan hati manusia.

Jadi menurut saya, kehadiran AI jangan-jangan malah menandai awal dari tercuatkannya kemampuan manusia sesungguhnya, yang jauh lebih dahsyat dari yang telah ditunjukkannya sejauh ini. Jangan-jangan kemampuan yang telah ditunjukkan ras manusia selama ini bukanlah benar-benar kemampuan manusia, melainkan kemampuan hewani dan masinal. Dengan kata lain, sebaliknya dari akan menjadi kiamat bagi manusia, kehadiran AI justru membuka jalan bagi kelahiran baru ras manusia, kelahiran manusia sejati dalam hal tercuatnya kemampuan-kemampuan luhurnya, dengan segala kedahsyatannya, yang selama ini belum tereksplorasi.

Namun semua itu hanya akan bisa terjadi jika kita mengubah apa yang kita ajarkan dan bagaimana kita mengajarkannya, karena apa yang kita ajarkan ajarkan saat ini adalah peninggalan 200 tahun lalu, sarat dengan muatan pengetahuan.

Coretan sebelum pulang kantor. Tulisan ini terinspirasi dari buku "Memulihkan Sekolah, Memulihkan Manusia", karya Haidir Bagir, cetakan tahun 2019 dan Pidato Jack Ma pada saat forum Ekonomi Dunia tahun 2019 yang dapat diakses di https://www.youtube.com/watch?v=Z9BzurVnh8Q


Rabu, 17 Maret 2021

Book Review "The Growth Mindset Coach" by Prof. Sri Minda Murni

Buku ini berjudul The Growth Mindset Coach, tulisan Annie Brock dan Heather Hundley, diterbitkan Ulysses Press tahun 2016. Buku yang ada pada saya ini kebetulan merupakan sebuah karya terjemahanoleh penerjemah Khairinka Rania Lizadhi, diterbitkan Penerbit BACA. Buku ini merupakan hadiah seorang teman yang memang sangat suka membaca - Jepri Sipayung – seorang Teacher Training Specialist di Program PINTAR Tanoto Foundation.

Sesuai judulnya buku ini memperkenalkan dua pola berfikir, yakni pola berfikir tetap dan pola berfikir tumbuh. Pola berfikir tetap dilandasi keyakinan bahwa kecerdasan dan kemampuan seseorang dibawa lahir. Sebaliknya pola berfikir tumbuh dilandasi keyakinan bahwa  kecerdasan dan kemampuan seseorang dapat tumbuh lewat latihan, ketekunan, dan usaha karena setiap orang sesungguhnya memiliki potensi tanpa batas untuk belajar dan berkembang.

Sejumlah contoh diberikan untuk mendukung kebenaran pola berfikir tumbuh, diantaranya adalah sejarah hidup Wilma Rudolph – seorang pelari olimpiade – yang lahir prematur dan kehilangan fungsi kaki karena terserang penyakit polio namun akhirnya berhasil meraih medali emas di Olimpiade Roma tahun 1960. Selain itu ada juga gambaran sosok Marie Curie dan Malala Yousafzai yang terkenal itu.

Buku ini menarik karena sangat relevan bagi guru-guru di sekolah mitra Program PINTAR Tanoto Foundation karena sesungguhnya guru yang kita cita-citakan bersama adalah guru yang memiliki pola berfikir tumbuh. 

Pertama, guru dengan pola berfikir tumbuh tidak akan pernah menghakimi anak didiknya bodoh dengan ukuran apapun termasuk rumusan Kompetensi Dasar dan tujuan pembelajaran. Itulah sebabnya kita melatih dan mendampingi guru untuk realistis dalam merumuskan tujuan pembelajaran. Guru dengan pola berfikir tumbuh akan terus berusaha menemukan cara terbaik yang paling disukai anak didiknya untuk mencapai tujuan pembelajaran. Setiap anak memiliki gaya belajar yang berbeda dan tugas guru adalah menemukan gaya belajar yang khas tersebut sehingga tugas mengajar dan belajar menjadi menyenangkan bagi kedua belah fihak. 

Kedua, guru dengan pola berfikir tumbuh senantiasa memiliki cara-cara yang unik dan baru dalam mengajar. Mereka adalah guru yang senantiasa menantang diri untuk memberi pengalaman belajar yang menarik, berharga, dan bermakna bagi anak didik. Struktur MIKiR yang kita ajarkan tidak rigid mengikat tetapi dapat mengakomodir segala bentuk kreasi untuk merancang bagian M,I,Ki, dan R nya. Guru dengan pola berfikir tumbuh dapat menuntaskan tuntutan kurikulum secara efektif dan efisien sehingga peserta didik dapat merasakan perkembangan pengetahuan, keterampilan, dan sikap baik di dalam diri yang membuat mereka merasa bahagia dan sejahtera.

Ketiga, guru dengan pola berfikir tumbuh akan selalu berada di dekat anak didiknya untuk membantu mereka keluar dari kesulitan belajarnya dan untuk mampu mengenali diri sendiri dan menemukan kekuatan/kelebihannya. Di program PINTAR, guru dibimbing untuk mampu merancang tugas dan pertanyaan yang bersifat high order thinking bukan sekedar pertanyaan dan tugas yang bersifat ingatan. Mereka juga dilatih untuk mampu mengelola kelas dalam pembelajaran secara berpasangan/berkelompok, tidak semata klassikal. Dengan dua kompetensi itu, guru yang memiliki pola berfikir tumbuh akan mampu memacu anak didik untuk mengubah kegagalan menjadi kesempatan memperbaiki diri bahkan memotivasi mereka untuk mencapai prestasi terbaik di bidang yang diminatinya.

Kelemahan buku ini lebih kepada gaya penulisannya yang cenderung sangat praktis sehingga terkesan menggurui. Pembaca yang menyukai konsep-konsep yang bersifat filosofis tidak akan terlalu menikmati buku ini karena kepraktisannya. Sebaliknya buku ini cocok bagi guru yang merindukan resep untuk langsung dipraktikkan di kelasnya maupun untuk mengubah hal yang selama ini dinilainya benar antara lain tidak lagi membuat denah kelas berdasarkan kepintaran anak didik atau tidak lagi menyuruh anak yang gagal menjawab pertanyaan berdiri di depan kelas. 

Kelemahan lainnya, buku ini merupakan karya terjemahan sehingga bahasa yang digunakan juga terkesan merepresentasikan konteks budaya  yang berbeda. Sebahagian guru akan kesulitan menerapkan kiat-kiat yang diberikan misalnya mengobrol 2 menit dengan anak didik tentang sesuatu yang tidak ada hubungannya denagn sekolah. Hal ini akan relatif sulit dilakoni guru karena kebanyakan guru belum menganut alam berfikir demokratis dan egalitarian sebagaimana yang digambarkan pada buku.

Kesimpulannya buku ini sangat relevan dengan semangatr yang kita kembangkan di Program PINTAR. Kita percaya bahwa pembelajaran aktif yang kita berikan melalui pelatihan dan pendampingan akan lebih berhasil manakala diawali dengan perubahan pada pola berfikir guru dari pola berfikir tetap menajdi pola berfikir tumbuh. Sebagai tambahan, jangan-jangan kegagalan kita dalam memperoleh dampak terbaik dari pelatihan dan pendampingan selama ini dikarenakan sebahagian guru yang kita latih masih memiliki pola berfikir tetap. Wallohua’lam.

Kombinasi Berbagai cara Menyampaikan Pembelajaran

  Ragam cara melaksanakan pembelajaran: ceramah, kegiatan individu, dan kegiatan kelompok. Dalam melaksanakan pembelajaran, berbagai kombina...