Selasa, 25 November 2025

Hari Guru, sebenarnya untuk siapa?

Setiap tahun kita merayakan Hari Guru dengan unggahan foto, bunga, dan pidato-pidato manis. Tapi sebagai seseorang yang sudah lebih dari satu dekade bekerja bersama guru—mengajar mereka, melatih mereka, mendampingi mereka—saya semakin sering bertanya dalam hati:

Hari Guru ini sebenarnya untuk siapa?

Untuk guru yang setiap hari berjuang di kelas dengan murid-murid yang makin beragam kebutuhannya?

Atau untuk para pejabat yang rajin membuat seremoni, tapi abai pada hal paling mendasar yang dibutuhkan guru: pendampingan, supervisi bermutu, dan kebijakan yang konsisten?

Kenyataannya Tidak Semanis Pidato

Hasil PISA 2022 sudah jelas: Indonesia masih berada di peringkat bawah untuk literasi, numerasi, dan sains. Yang menarik, laporan OECD menekankan bahwa kualitas pengajaran adalah faktor paling menentukan keberhasilan siswa.

Bank Dunia (2023) bahkan menyebut bahwa “dukungan profesional guru di Indonesia masih sporadis, tidak terstruktur, dan kurang berkelanjutan.”

Riset SMERU dan RISE juga menemukan hal yang sama: guru belajar, tetapi praktik mengajarnya tidak otomatis berubah—karena tidak ada pendampingan yang memastikan pembelajaran benar-benar berlangsung di kelas.

Saya melihat sendiri: banyak pelatihan hanya seremonial. Modul dibagikan, foto diambil, sertifikat diberikan. Besoknya, kelas kembali berjalan seperti biasa. 

Mentoring: Yang Seharusnya Jadi Nafas Profesi Guru

Berbagai riset internasional, mulai dari Darling-Hammond hingga Barber & Mourshed, sudah lama menegaskan:

Negara dengan kualitas pendidikan terbaik selalu punya sistem mentoring guru yang kuat.

Dan memang itu masuk akal.

Guru bukan robot. Mereka butuh ruang aman untuk mencoba, salah, dievaluasi, dan dibimbing.

Penelitian Bank Dunia di beberapa kabupaten Indonesia menunjukkan:

Guru yang rutin didampingi meningkatkan kualitas praktik mengajar 2–3 kali lebih cepat dibanding yang hanya ikut pelatihan.

Dampaknya nyata: nilai murid meningkat signifikan dalam satu tahun.

Riset Tanoto Foundation tempat saya mengabdi dan terlibat langsung dalam pengembangan Program PINTAR konsisten menemukan pola serupa:

✍️Guru yang mendapat coaching rutin menerapkan pembelajaran aktif lebih konsisten dan lebih lama.

✍️Sekolah yang rajin melakukan pendampingan internal menunjukkan lonjakan hasil belajar, terutama literasi dan numerasi kelas awal.

Semua temuan ini tidak aneh.

Karena belajar mengajar itu keterampilan.

Dan keterampilan hanya tumbuh lewat latihan + umpan balik, bukan ceramah seharian.

Masalahnya: Negara Kita Tidak Serius

Kita punya kebiasaan mengganti kurikulum dengan alasan perkembangan zaman, tapi tidak punya dukungan pendampingan yang memadai agar guru benar-benar mampu menerapkannya.

Kita bicara tentang transformasi, tapi tidak pernah membiayai hal paling penting:

gaji supervisor yang layak, pelatihan pengawas yang benar, dan program mentoring internal di sekolah.

Kita mengagumi Finlandia, Jepang, dan Singapura, 

tetapi lupa bahwa negara-negara itu membangun fondasi dengan cara sederhana:

👉Setiap guru wajib punya mentor.

👉Setiap sekolah wajib punya budaya belajar profesional.

👉Setiap pemerintah wajib memastikan pendampingan itu benar-benar berjalan.

Kita?

Masih sibuk bikin acara peringatan.

Hari Guru Harusnya Tentang Perubahan

Kalau Hari Guru hanya dipenuhi ucapan dan spanduk, lebih baik tak usah dirayakan.

Guru tidak butuh seremoni.

Mereka butuh:

✅Mentor yang hadir setiap minggu, bukan pejabat yang hadir setahun sekali.

✅Supervisi yang mendidik, bukan inspeksi yang menakut-nakuti.

✅Kebijakan yang konsisten, bukan gonta-ganti program.

✅Anggaran untuk pengembangan profesional, bukan anggaran untuk acara.

Jika pemerintah sungguh menghargai guru, maka ukurannya sederhana:

Apakah mereka berinvestasi pada pendampingan guru secara berkelanjutan?

Jika tidak, maka Hari Guru hanyalah perayaan kosong.

Kalau kita benar-benar mencintai dan hebat -hentikan seremoni—dan mulailah membangun sistem yang membuat mereka bertumbuh setiap hari. Niscaya Indonesia akan kuat.

Selamat Hari Guru Nasional 2025. 

Guru Hebat, Indonesi kuat💪

Besitang, coretan jalan pulang menuju Medan

Jumat, 21 November 2025

Refleksi Akhir Pelatihan Numerasi Karo

Sore hari ini menjadi momentum penting dalam keseluruhan rangkaian pelatihan yang telah berlangsung selama beberapa hari terakhir. Setelah seluruh sesi berakhir, kami melaksanakan kegiatan refleksi bersama para fasilitator dan tim sebagai langkah penutup yang tidak kalah bermakna dibandingkan proses pelatihan itu sendiri. 

Kegiatan ini memberikan ruang bagi setiap fasilitator dan tim untuk menyampaikan pengalaman, perasaan, serta pembelajaran yang mereka peroleh selama menjalankan perannya. 

Beberapa fasilitator menyampaikan perasaan lega setelah melalui rangkaian pelatihan yang intensif. Ada juga yang menyatakan bahwa malam ini mereka baru dapat kembali beristirahat dengan tenang, setelah beberapa hari sebelumnya mencurahkan energi untuk mempersiapkan materi, menyelaraskan strategi, dan memastikan proses pembelajaran berjalan efektif. 

Banyak fasilitator mengaku merasa bangga karena mampu menyampaikan materi dengan baik dan melihat peserta memahami inti pelatihan. Rasa bangga ini tidak berhenti pada sekadar keberhasilan menyampaikan isi pelatihan, tetapi karena adanya perubahan sikap dan respons positif yang ditunjukkan peserta selama proses berlangsung. 

Selain itu, para fasilitator saling memberikan apresiasi satu sama lain. Mereka mengakui bahwa tim telah bekerja dengan solid, dengan kemampuan pengambilan keputusan yang cepat dan tepat, serta koordinasi yang berjalan sangat baik. Beberapa juga mencatat bahwa pelatihan kali ini tidak hanya meningkatkan pengetahuan peserta tetapi juga berhasil menyentuh hati peserta. Refleksi ini menunjukkan bahwa keberhasilan pelatihan tidak hanya terukur dari tercapainya indikator teknis, dan peningkatan pengetahuan tetapi juga dari sejauh mana pelatihan dapat menyentuh hati peserta. 

Saya juga mendengar refleksi dari perspektif peserta. Berdasarkan pengamatan tim dan fasilitator, para peserta menunjukkan partisipasi aktif, semangat belajar yang tinggi, dan keterlibatan yang konsisten dalam setiap sesi. Beberapa peserta mengungkapkan bahwa pelatihan terasa menarik dan menyenangkan—dua indikator penting yang menunjukkan adanya kenyamanan psikologis selama proses pembelajaran berlangsung. 

Salah satu hal yang paling menginspirasi adalah kehadiran 40% guru lanjut usia yang tetap menunjukkan antusiasme belajar yang luar biasa. Kesungguhan para guru yang sudah akan memasuki masa pensiun 2-3 tahun ini, menjadi teladan bagi peserta lainnya, sekaligus menjadi pengingat bahwa semangat untuk berkembang dan belajar tidak dibatasi oleh usia. Hal ini memperkuat pesan bahwa pelatihan yang baik mampu menjangkau berbagai kalangan dan tetap relevan bagi semua peserta. 

Setelah mendengar semua refleksi para fasilitator dan tim, sekarang adalah bagian saya untuk merangkum dan memberikan penguatan peran para Fasilitator dan janggung jawab ke depannya. 

Pada bagian ini, saya menyampaikan apresiasi yang mendalam kepada seluruh fasilitator. Peran yang mereka jalankan selama pelatihan ini telah menunjukkan bahwa mereka bukan sekadar penyampai materi, tetapi juga role model bagi peserta. Melalui cara mereka berkomunikasi, mengelola kelas, mengambil keputusan, dan saling mendukung, para fasilitator telah menunjukkan nilai-nilai profesionalisme dan dedikasi yang patut diapresiasi. Kepada tim juga saya ucapkan terima kasih karena sudah menjadi mata dan telinga untuk menjaga semua proses pelatihan berjalan dengan sangat baik.

Saya juga menegaskan beberapa poin penting yang menjadi arah langkah ke depan: 
  • Pelatihan ini adalah awal, bukan akhir. Setelah sesi tatap muka berakhir, masih ada tahapan mentoring dan pendampingan yang perlu dijalankan agar peserta benar-benar mampu menerapkan seluruh materi dalam praktik nyata di kelas masing-masing. 
  • Kekompakan harus terus dijaga. Hubungan baik antar fasilitator maupun dengan peserta adalah modal awal yang sangat berharga dalam melakukan perubahan ke depan. Kekompakan ini perlu dirawat agar kerja kolaboratif dapat terus berlanjut secara efektif. Agar api perubahan tetap menyala dan sampai ke ruang -ruang kelas dan murid-murid di sekolah. 
  • Tetaplah bertumbuh dan berkembang. Para fasilitator diharapkan terus mengembangkan kompetensi mereka—baik dalam penguasaan materi, keterampilan pedagogis, maupun kemampuan memfasilitasi. Perubahan yang berkelanjutan harus dimulai dari diri dan kelas masing-masing. 
  • Berikan kontribusi terbaik untuk anak-anak di Karo dan Indonesia. Karo membutuhkan pendidik dan fasilitator yang kuat, profesional, dan berkomitmen. Apa yang dimulai dalam pelatihan ini diharapkan memberikan dampak nyata dan berkelanjutan bagi pendidikan di Karo serta Indonesia pada umumnya. 
Hari ini pelatihan telah berakhir, namun ini adalah sebuah awal dari journey yang panjang. Saya yakin, perjalan ini akan menjadi mudah dengan kesungguhan, kejujuran, dan kolaborasi yang telah ditunjukkan fasilitator dan tim. 

Terima kasih untuk lima hari yang hebat. Mari terus menjaga agar api komitmen yang tumbuh dalam pelatihan ini terus menyala dan menjadi energi bagi upaya peningkatan kualitas pendidikan di Karo dan Indonesia. 

Mejuah-Juah, Karo, 20 Nov 2025, Pukul 5 sore

Kamis, 20 November 2025

Kisah Seorang Guru dari Pelatihan

Hari itu, di salah satu refleksi awal pelatihan, salah satu peserta berdiri dan berbagi refleksi.

“Untuk pertama kalinya, saya benar-benar bangga. Bukan hanya pada diri saya… tapi pada anak-anak saya. Mereka sekarang tahu apa yang saya ajarkan. Dan itu membuat saya semakin yakin, saya berada di jalan yang benar sebagai guru.”

Sebuah testimoni yang mengingatkan kita:
ketika guru bertumbuh, anak-anak ikut maju.

Selasa, 18 November 2025

Membangun Pembelajaran Matematika yang Bermakna

Lima hari ini saya mendampingi pelatihan pengembangan numerasi di Karo. Salah satu tujuan dari pelatihan ini adalah meningkatkan kemampuan guru dalam mengembangkan pembelajaran yang bermakna. 

Pembelajaran bermakna secara sederhana dapat diartikan pembelajaran yang bermafaat dalam kehidupan murid, bukan hanya sekedar mengerjakan soal atau menyelesaikan materi. Namun demikian, banyak guru matematika SD merasa terjebak dalam rutinitas mengajar—menyampaikan rumus, memberi soal, dan memeriksa jawaban. 

Gagasan proses belajar-mengajar matematika menjadi sebuah pengalaman yang bermakna, menggugah rasa ingin tahu, membangun keberanian berpikir, dan menumbuhkan kegembiraan anak dalam memecahkan masalah bukanlah utopia. George Polya, seorang matematikawan sekaligus “seniman pengajaran”, telah mempraktikkannya melalui pendekatan problem solving yang penuh inspirasi—dan sangat relevan bagi kelas SD di Indonesia.

Polya meyakini bahwa inti pengajaran matematika adalah memberikan kesempatan bagi siswa untuk menemukan sendiri. Bukan semata-mata “menyampaikan jawaban”, tetapi menuntun siswa berpikir, menebak, membandingkan, menguji, hingga menemukan pola atau solusi. Pembelajaran matematika menjadi hidup saat siswa dilatih untuk berpikir tentang pemikiran mereka sendiri, sehingga tumbuh menjadi pemecah masalah yang mandiri.

“What is teaching? Giving opportunity to students to discover things by themselves.”
— George Polya

Berikut adalah beberapa tips untuk mengembangankan pembelajaran matematika bermakna menurut gagasan Polya. 

1. Mulai dari Eksplorasi, Bukan Penjelasan Langsung

Polya memulai dengan masalah terbuka dan mengundang semua siswa untuk menebak jawabannya, tanpa takut salah. Kesalahan dianggap sebagai jembatan menuju solusi yang lebih baik. Di kelas SD, guru bisa memberikan soal kontekstual sederhana dan bertanya: “Menurut kalian, kira-kira jawabannya berapa? Mengapa?” Biarkan anak merasakan kegembiraan menebak.

2. Scaffolding: Dari Masalah Sederhana ke Kompleks

Daripada langsung pada soal utama, Polya mengajak siswa mundur ke versi soal lebih sederhana (“Berapa banyak bagian jika bidangnya 1? 2? 3?”). Di kelas SD, pembelajaran dimulai dari soal termudah, kemudian secara bertahap diperluas. Misalnya, sebelum menanyakan “Berapa banyak persegi yang bisa dibentuk dari sekumpulan titik?”, mulailah dari dua titik, tiga titik, dst.

3. Lakukan Diskusi Kelas dan Validasi Dugaan

Guru memfasilitasi diskusi, mencatat berbagai dugaan siswa di papan tulis, serta mengajak mereka mencari dan membandingkan pola (“Bagaimana jika jawabannya selalu dua kali lipat dari sebelumnya?”). Ketika dugaan siswa keliru, guru justru mengapresiasi alasan di balik dugaan itu—dan menuntun mereka memeriksa serta memperbaiki logikanya.

4. Tekankan Pentingnya Menguji dan Membuktikan

Polya selalu menegaskan: tebakan tanpa pembuktian hanya sekadar dugaan. Di kelas, guru dapat melatih siswa menguji hipotesis mereka menggunakan gambar sederhana, alat peraga, atau model konkret—sehingga mereka belajar pentingnya verifikasi dan logika.

5. Gunakan Analogi dan Kasus Ekstrem

Ajak siswa menelusuri pola dengan membuat analogi (“Apa yang terjadi jika tidak ada garis? Jika hanya ada satu garis?”). Pemahaman konsep dasar akan membantu mereka membangun pola berpikir yang lebih luas dan tahan lama.

6. Bangun Kultur Bertanya dan Tidak Takut Salah

Guru perlu melatih keberanian siswa untuk bertanya, menduga, dan mengkritisi pola. Tegaskan bahwa salah itu wajar dan bagian penting dari belajar. Seringkali, kesalahan yang produktif menuntun pada penemuan baru.

Contoh Praktis di Kelas SD

  • Saat mengajarkan pecahan, guru dapat memberikan soal: “Jika kamu membagi satu kue menjadi beberapa bagian, berapa potongan yang bisa didapat?” Biarkan siswa menebak, lalu mencoba membagi kue nyata, dan mencari sendiri pola yang muncul.

  • Untuk topik geometri, guru dapat menggunakan benang dan kertas: “Jika kamu menarik satu benang di atas kertas, berapa bagian kertas yang terbentuk? Bagaimana dengan dua benang, dan seterusnya?” Dorong anak mencatat hasilnya, lalu mendiskusikan polanya bersama.

Refleksi untuk Guru:

Pengalaman Polya menegaskan bahwa mengajar matematika bukan sekadar memberikan jawaban, melainkan menghidupkan rasa ingin tahu dan kekuatan berpikir di setiap anak. Guru bukan “pemberi informasi”, melainkan fasilitator penemuan—pendamping proses intelektual murid.

Kata kunci dari Polya: berani menebak, berani menguji, berani bertanya, dan siap menerima hasil yang tak terduga. Inilah sikap ilmiah yang mesti dibangun sejak SD, agar setiap siswa tumbuh menjadi pemecah masalah, bukan sekadar penghafal rumus.


Kesimpulan

Mengadaptasi pendekatan Polya di kelas SD menuntut guru untuk:

  • Berani mengambil waktu memfasilitasi penemuan, bukan sekadar menuntaskan materi.

  • Menumbuhkan kebiasaan diskusi, menebak, dan menguji berdasarkan pengamatan.

  • Menghargai kesalahan sebagai bagian penting dari proses belajar.

Dengan demikian, pembelajaran matematika di SD bisa menjadi pengalaman yang menggembirakan—dan membekali anak untuk menghadapi tantangan berpikir di masa depan.


Mari jadikan kelas matematika tempat para pemikir kecil belajar memecahkan masalah, bukan sekadar mengerjakan soal!

sumber: https://www.youtube.com/watch?v=h0gbw-Ur_do

Mulai dari yang Sederhana

Bayangkan seorang guru bernama Bu Rina. Sudah lebih dari sepuluh tahun ia mengajar, namun ia merasa kelasnya mulai terasa “biasa saja”. Siswa mengikuti pelajaran, tetapi tidak benar-benar terlibat. Di tengah kegelisahannya, ia diutus sekolahnya mengikuti pelatihan tentang strategi pembelajaran aktif.

Awalnya, Bu Rina ragu. “Apakah ini cocok untuk kelas saya?” pikirnya. Tapi ia mencoba satu kegiatan kecil: meminta siswa bekerja dalam kelompok untuk memecahkan masalah. Hasilnya mengejutkan—kelas menjadi lebih hidup. Ia lalu merenungkan perubahan itu, mencoba mencari tahu apa yang membuatnya berhasil.

Refleksi itu menimbulkan perubahan baru dalam keyakinannya: bahwa siswa belajar lebih baik ketika mereka terlibat aktif. Keyakinan ini mendorongnya mencoba strategi lain, lalu merenungkannya lagi. Setiap percobaan kecil membentuk perubahan yang lebih besar dalam cara ia memandang dirinya sebagai guru.

Di balik cerita Bu Rina, ada satu model yang dengan tepat menggambarkan perjalanan ini: Model Interkoneksi Pertumbuhan Profesional Guru dari Clarke dan Hollingsworth.

Model ini menunjukkan bahwa perubahan guru tidak terjadi secara linear. Ia terjadi karena empat hal yang saling memengaruhi:

  • Apa yang diyakini guru

  • Apa yang dilakukan guru di kelas

  • Apa yang terjadi pada siswa

  • Apa yang diterima guru dari luar, seperti pelatihan, komunitas belajar, atau kebijakan sekolah

Setiap perubahan kecil, ketika dicoba dan direnungkan, dapat memicu perubahan berikutnya. Kadang perubahan dimulai dari pelatihan. Kadang dari eksperimen kecil. Kadang dari hasil kelas yang membuat guru bertanya: “Mengapa ini berhasil?”

Perjalanan itu bukan sekadar mengikuti pelatihan, tetapi membangun jaringan pertumbuhan: siklus mencoba, melihat hasil, merenungkan, lalu mencoba lagi. Di sekolah yang mendukung kolaborasi, perubahan ini makin kuat—karena guru tidak merasa berjalan sendiri.

Pada akhirnya, pertumbuhan profesional adalah perjalanan panjang, seperti perjalanan Bu Rina. Tidak selalu besar dan dramatis. Justru seringnya dimulai dari langkah kecil—yang dilakukan dengan berani dan direnungkan dengan tulus.

__________________

Terinspirasi dari dari Pelatihan Pengembangan Kemampuan Numerasi Sekolah Dasar 

RPP itu bukan sekedar administrasi

Sebagai pendidik, kita semua akrab dengan Rencana Pelaksanaan Pembelajaran (RPP). Sayangnya, bagi banyak guru, RPP sering dianggap tidak lebih dari " sebuah dokumen formalitas untuk menyenangkan atasan atau supervisor. Prosesnya terasa membosankan, membuang waktu, dan seringkali tidak berkorelasi langsung dengan apa yang terjadi di kelas.

Namun, jika kita serius ingin meningkatkan kualitas pendidikan, terutama di pelajaran matematika —yang kerap menjadi momok bagi siswa—paradigma ini harus diubah. Solusinya terletak pada apa yang disebut oleh para peneliti sebagai Formt RPP Empat Kolom. Ini bukan sekadar format baru, melainkan sebuah filosofi perencanaan yang menuntut guru untuk berpikir secara pedagogis sebelum mengajar.

Mengapa RPP Konvensional Gagal?

RPP konvensional cenderung fokus pada urutan kegiatan guru: Guru A melakukan ini, Siswa B melakukan itu. RPP jenis ini gagal memicu apa yang disebut Shulman (1987) sebagai "penalaran dan tindakan pedagogis" (pedagogical reasoning and action). Guru fokus pada delivery (penyampaian) materi, bukan pada comprehension (pemahaman) siswa.

Empat Pilar RPP
Artikel ini mengajak Anda untuk mengenal dan mempraktikkan format RPP multi-kolom—khususnya RPP empat kolom—yang telah terbukti menjadi alat pengembangan profesional yang sangat bernilai. RPP Empat Kolom: Merancang Interaksi, Bukan Sekadar Aktivitas

Model RPP empat kolom, yang digunakan dalam banyak studi pelajaran, memaksa kita untuk menggali lebih dalam tiga dimensi sentral pengajaran: konten matematikapemikiran siswa, dan pengetahuan strategis guru (Shulman, 1987).

Berikut adalah empat komponen utama dari RPP ini (lihat Gambar):
  1. Deskripsi Bagian Tugas dengan Alokasi Waktu: Memastikan keseimbangan peran antara guru dan siswa serta ketersediaan waktu yang cukup untuk setiap kegiatan.
  2. Aktivitas Guru: Mendetailkan secara tepat apa yang akan dikatakan dan dilakukan guru, termasuk merumuskan pertanyaan probing yang mendorong pemikiran tingkat tinggi. Ini menuntut guru untuk benar-benar menguasai dan "membedah" konsep mendalam dari materi ajar.
  3. Aktivitas dan Pemikiran Siswa yang Diantisipasi: Ini adalah inti dari pengembangan profesional.Guru didorong untuk "berpikir seperti siswa" dan meramalkan berbagai respon, pemahaman, dan bahkan miskonsepsi yang mungkin muncul.
  4. Intervensi: Tindakan dan Pertanyaan yang Diantisipasi untuk Menjaga Tugas pada Tuntutan Kognitif Tinggi: Kolom ini adalah rencana darurat dan pengayaan. Berdasarkan miskonsepsi atau jawaban yang diantisipasi (Kolom 3), guru merencanakan secara spesifik intervensi apa yang akan diberikan agar siswa tetap fokus pada konsep matematis utama dan menjaga tantangan kognitif tetap tinggi.
Mengapa Proses Ini Bermanfaat?

Berdasarkan penelitian terhadap guru dan calon guru yang menggunakan format ini, manfaat utamanya terbagi menjadi dua:


Para guru mengakui bahwa RPP empat kolom memaksa mereka untuk berpikir dari sudut pandang siswa. Dengan mengantisipasi respon, mereka tidak lagi hanya berfokus pada "apa yang harus saya ajarkan," melainkan "bagaimana siswa akan memahami dan mengolah informasi ini." 

Hal ini sejalan dengan konsep transformasi (adaptasi dan penyesuaian) pengajaran Shulman, di mana materi disesuaikan dengan karakteristik spesifik siswa di kelas (Shulman, 1987).

Bahkan guru berpengalaman merasa bahwa mengantisipasi tindakan dan pertanyaan siswa adalah "sesuatu yang tidak biasa" dalam perencanaan harian mereka. Namun, dengan melakukan ini, pelajaran menjadi "lebih terstruktur"dan guru dapat terhubung dengan "makna yang lebih dalam dalam pelajaran".

2. Meningkatkan Keterampilan Bertanya Kritis (Critical Questioning)

Untuk mengisi kolom 4 (Intervensi), guru harus menyusun pertanyaan terbuka (open-ended questions) yang spesifik dan efektif. Proses perencanaan ini secara kolektif membuat guru menyadari perlunya meningkatkan teknik bertanyamereka, memberikan lebih banyak waktu berpikir (think time), dan menahan diri untuk tidak "memberi tahu atau memimpin" jawaban siswa.

Antisipasi terhadap miskonsepsi memicu guru untuk memikirkan cara-cara memperluas pelajaran ke ide-ide matematis yang lebih kompleks. Seperti yang diungkapkan seorang guru, ia mulai "memikirkan ide-ide bagaimana memperluas pelajaran"setelah meramalkan masalah yang mungkin timbul.Tips Praktis untuk Memulai

Meskipun RPP empat kolom tidak dapat digunakan untuk setiap pelajaran, ini adalah proses analitis yang sangat baik untuk pelajaran yang dianggap sulit atau penting.
  • Pilih Satu Pelajaran Sulit:Mulailah dengan pelajaran yang menurut Anda atau siswa Anda sangat bermasalah di masa lalu.
  • Kerja Mandiri atau Kolaboratif: Anda bisa melakukannya sendiri atau, yang lebih efektif, dengan satu atau dua rekan kerja untuk saling menganalisis konten dan mengantisipasi intervensi.
  • Fokus pada Konten Mendalam (Langkah 2): Jangan terkejut jika Anda perlu melakukan riset untuk menyelesaikan masalah matematika itu sendiri. Pemahaman mendalam Anda adalah prasyarat untuk merumuskan aktivitas guru yang tepat.
  • Intensif di Kolom 3 & 4: Luangkan waktu paling banyak untuk mengantisipasi minimal tiga cara berbeda siswa memahami ide matematika (Kolom 3) dan merancang pertanyaan intervensi yang tepat untuk setiap skenario (Kolom 4).
Penutup

Bapak/Ibu guru, waktu yang Anda investasikan dalam RPP empat kolom adalah waktu yang diinvestasikan dalam pengembangan profesional Anda. Proses ini mengalihkan fokus dari sekadar mengelola aktivitas (sequence of activities) menjadi fokus pada interaksi guru-siswa dalam proses belajar mengajar. 

Hasilnya, Anda akan merasa lebih percaya diri, dan yang terpenting, interaksi Anda dengan siswa akan membaik, mendukung pemahaman konseptual mereka di atas pemahaman prosedural. Mari kita jadikan perencanaan pembelajaran sebagai ruang refleksi dan pertumbuhan profesional kita.


REFERENCES
Linked references are available on JSTOR for this article:
http://www.jstor.org/stable/41198936?seq=1&cid=pdf-reference#references_tab_contents
You may need to log in to JSTOR to access the linked references.

Senin, 17 November 2025

10 Prinsip Emas Mengajar Matematika Yang Efektif

Siapa di antara kita yang tidak ingin melihat wajah antusias siswa saat pelajaran matematika? Seringkali, matematika dianggap sebagai pelajaran yang kaku dan penuh rumus. Padahal, matematika di SD adalah fondasi untuk pemikiran logis dan pemecahan masalah di masa depan.


Tulisan ini akan membahas mengenai 10 Prinsip Emas yang sangat praktis, diambil dari penelitian Glenda Anthony dan Margaret Walshaw tentang pengajaran matematika yang efektif. 

1. Menciptakan Kelas yang Menghargai dan Memberdayakan

Inti Praktis: Ciptakan "zona aman" di kelas. Siswa harus merasa nyaman untuk salah, berargumen, dan mencoba ide-ide aneh tanpa takut dihakimi. Tunjukkan bahwa Anda menaruh harapan tinggi pada kemampuan matematika mereka.

Ayo Coba Ini! (Saat Siswa Gagal Menghitung)

Ketika siswa salah menjawab soal perkalian puluhan, jangan langsung beri label "salah." Coba katakan: "Strategi menghitungmu sudah hampir tepat! Ada langkah kecil yang terlewat. Mari kita ulas langkah-langkahmu di papan tulis. Dengan menganalisis ini, kita semua bisa belajar." Ini membangun kepercayaan diri, bukan ketergantungan.

2. Mengatur Waktu Belajar (Think-Pair-Share)

Inti Praktis: Beri siswa waktu untuk berpikir sendiri, berbagi ide dengan teman, baru kemudian berdiskusi sebagai kelas. Jangan buru-buru meminta jawaban!

Ayo Coba Ini! (Saat Memecahkan Soal Cerita)

Berikan soal cerita (misalnya, tentang menghitung selisih uang belanja). Alokasikan waktu:
  • 3 Menit Senyap: "Tuliskan setidaknya satu cara untuk menyelesaikan masalah ini sendiri."
  • 5 Menit Berpasangan (Pair): "Diskusikan caramu dan cara temanmu. Tentukan mana yang paling cepat atau paling mudah dipahami."
  • Diskusi Kelas (Share): Pilih 2-3 pasangan dengan strategi berbeda untuk menjelaskan di depan.
3. Jangan Hanya Perbaiki Kesalahan, Bangunlah Pemahaman Mereka!

Inti Praktis: Gunakan pengetahuan awal, miskonsepsi, atau kesalahan yang dibuat siswa sebagai "batu loncatan" untuk pemahaman yang lebih mendalam.

Ayo Coba Ini! (Membongkar Miskonsepsi Perbandingan)

Skenario: Anda sedang mengajarkan perbandingan atau skala di kelas 5/6. Siswa menggunakan cara penjumlahan (aditif) padahal seharusnya perkalian (multiplikatif).

Tindakan: Berikan masalah yang sangat besar: "Jika untuk 2 kancing butuh 5 cm benang, berapa benang yang dibutuhkan untuk 200 kancing?" Angka besar ini memaksa mereka menyadari bahwa strategi menambah berulang (aditif) itu tidak efisien dan mendorong mereka mencari pola perkalian.

4. Tugas Matematika yang Menantang dan Bermakna

Inti Praktis: Tugas terbaik adalah tugas yang tidak memiliki satu jawaban atau satu cara penyelesaian. Tugas harus mendorong siswa untuk "berjuang" dan berpikir orisinal.

Ayo Coba Ini! (Eksplorasi Luas dan Keliling)

Daripada: "Hitung luas dan keliling persegi panjang 8 cm x 3 cm."

Ganti dengan: "Seorang tukang kebun punya pagar sepanjang 24 meter. Gambar semua kemungkinan bentuk kebun (persegi panjang) yang bisa dia buat. Mana bentuk kebun yang akan memberinya LUAS terbesar? Kenapa?" (Ini mendorong penalaran, koneksi antara luas dan keliling, serta problem solving).

5. Menghubungkan Semua Ide (Koneksi)

Inti Praktis: Pastikan siswa melihat bahwa Pecahan, Desimal, dan Persentase itu bersaudara. Hubungkan matematika dengan apa yang mereka alami sehari-hari.

Ayo Coba Ini! (Pecahan dalam Belanja)
  • Saat mengajarkan pecahan: "Ibu mendapat diskon 25% di toko. Berapa pecahan dari harga awal yang dia bayar? Jika harga bajunya Rp 80.000, berapa rupiah yang dia bayar?"
  • Tunjukkan konversi: $\frac{1}{4}$ Diskon = $25%$ Diskon = $0,25$ Diskon. Ini membantu mereka menerjemahkan ide yang sama dalam berbagai bentuk.
6. Penilaian Adalah Alat Belajar, Bukan alat Penghukum

Inti Praktis: Gunakan penilaian (pertanyaan, observasi, tugas) untuk melihat "di mana letak pikiran siswa" dan berikan umpan balik yang langsung bisa mereka gunakan.

Ayo Coba Ini! (Umpan Balik Tepat Sasaran)

Setelah mengoreksi tugas, hindari hanya menulis "80/100." Tulis umpan balik yang spesifik: "Perhitunganmu untuk bilangan bulat sudah benar. Tapi, di nomor 3, kamu lupa menuliskan satuan (meter) pada jawaban akhir. Coba revisi semua jawaban yang tidak ada satuannya."

7. Komunikasi Matematika (Berdebat Sehat)

Inti Praktis: Ajak siswa untuk mempertahankan jawaban mereka. Fokuskan diskusi kelas pada alasan (argumentasi) di balik solusi, bukan hanya pada jawaban akhir.

Ayo Coba Ini! (Membenarkan Jawaban)

Setelah beberapa siswa memecahkan masalah dengan cara berbeda, tunjuk dua siswa dengan solusi yang berbeda namun benar, dan minta mereka berdebat sopan: "Andi, jelaskan kepada Siti mengapa caramu (menggunakan garis bilangan) lebih mudah kamu pahami daripada cara Siti (menggunakan Balok Base Ten). Siti, dengarkan dan berikan sanggahanmu!"

8. Bahasa Matematika yang Tepat

Inti Praktis: Ajarkan istilah matematika secara eksplisit dan jelaskan maknanya agar tidak tertukar dengan bahasa sehari-hari.

Ayo Coba Ini! (Membedakan Kata)
  • Jelaskan perbedaan makna kata: "Kali" (sebagai proses perkalian) dan "kali" (seperti "berapa kali kamu ke toilet").
  • Jelaskan istilah geometris. Tunjukkan dua balok sabun (besar dan kecil): "Dalam bahasa biasa, keduanya 'sama'. Tapi secara matematika, kita sebutnya 'sebangun' atau 'similar', karena bentuknya sama tapi ukurannya berbeda (skala)."
9. Alat Bantu dan Representasi

Inti Praktis: Alat (seperti kubus, garis bilangan, atau teknologi) harus menjadi "ruang berpikir" siswa, bukan sekadar hiasan.

Ayo Coba Ini! (Visualisasi Penjumlahan Puluhan)

Saat mengajarkan penjumlahan $\text{18} + \text{14}$ (dengan menyimpan): Gunakan Balok Dasar Sepuluh (Base Ten Blocks). Siswa harus memvisualisasikan bagaimana 10 balok satuan dikumpulkan menjadi 1 balok puluhan baru. Ini membuat proses "menyimpan" menjadi nyata dan konseptual.

10. Pengetahuan Kontent dan Pedagogik yang Kuat (PCK)

Inti Praktis: Guru yang hebat tahu bukan hanya apa yang diajarkan, tetapi juga bagaimana siswa akan berpikir salah dan bagaimana cara terbaik untuk mengoreksi pemahaman tersebut. Ini namanya Pedagogi Konten Knowledge (PCK)

Ayo Coba Ini! (Respons Cerdas Terhadap Kesalahan)

Skenario: Siswa kelas 1 sedang belajar bilangan negatif (meskipun baru pengantar). Ia menjawab $\text{-3} + \text{-3} = \text{-3}$.

Respons Guru dengan PCK: Alih-alih menjawab, "Salah, seharusnya -6." Guru yang kuat akan bertanya: "Baik, kamu mulai di -3. Coba bayangkan kamu di lantai 3 bawah tanah. Jika kamu 'tambah' -3 lagi, apakah kamu naik ke atas atau turun ke bawah? Berapa lantai yang kamu turuni? Di lantai mana kamu berhenti?" (Menggunakan konteks yang relevan untuk memperbaiki pemahaman konseptual).

Penutup:
10 strategi ini adalah kerangka kerja yang saling terhubung. Dengan fokus pada keterlibatan, pemahaman mendalam, dan dukungan emosional, kita tidak hanya mengajarkan matematika, tetapi juga membentuk generasi pemecah masalah yang percaya diri. 

Sumber: These titles can be downloaded from the websites of the IEA (http://www.iaoed.org) or of the IBE (http://www.ibe.unesco.org/ publications.htm)
------------------------------------------------------


Jumat, 14 November 2025

Ayah, Cinta, dan Kekuatan Cilukba

Sering kali, peran ayah dalam pendidikan anak masih terpinggirkan. Padahal penelitian menunjukkan dampaknya luar biasa.

Studi dari Cambridge University dan LEGO Foundation (2022) menemukan bahwa bermain bersama ayah—termasuk permainan sesederhana cilukba—dapat memperkuat perkembangan sosial-emosional dan rasa percaya diri anak. Saat ayah menatap mata anak, tersenyum, dan menunjukkan cinta lewat permainan sederhana, ia sedang mengajarkan komunikasi, kehangatan, dan rasa aman.


Refleksi ini memberi pelajaran berharga bagi saya bahwa pendidikan, khususnya anak usia dini tidak bisa dilepaskan dari kasih, sentuhan, dan kolaborasi. Ketika guru memahami pentingnya relasi, dan orang tua—terutama ayah—hadir dalam kehidupan anak, di sanalah pendidikan holistik menemukan wujudnya.

Mungkin perubahan besar itu bisa dimulai dari hal kecil. Dari permainan cilukba antara ayah dan anak. Dari 30 menit waktu yang diberikan sepenuh hati. Dari kesadaran bahwa setiap tawa kecil anak adalah pondasi bagi masa depan bangsa yang lebih kuat, hangat, dan manusiawi.

#salam kolaborasi

#salamHolistik

Link Video: https://www.youtube.com/watch?v=ddQKaZ-S0Nw&t=11s




Kamis, 03 Oktober 2024

Kombinasi Berbagai cara Menyampaikan Pembelajaran

Kombinasi Cara Mengajar: Menghidupkan Pembelajaran dengan Strategi yang Tepat

Dalam dunia pendidikan saat ini, guru berhadapan dengan tantangan yang semakin kompleks. Siswa hadir dengan latar belakang yang beragam, kemampuan yang berbeda, serta gaya belajar yang tidak sama. Di sisi lain, kurikulum menuntut pembelajaran yang lebih aktif, kolaboratif, dan bermakna. Untuk menjembatani semua harapan ini, guru dituntut bukan hanya menguasai materi, tetapi juga menggabungkan berbagai strategi pembelajaran secara kreatif.

Faktanya, tidak ada satu metode yang bisa menjawab semua kebutuhan kelas. Yang justru menjadi kunci adalah kemampuan guru mengombinasikan berbagai pendekatan, sehingga pembelajaran bergerak dari pasif ke aktif, dari hanya menerima ke menemukan, dan dari sekadar menghafal ke memahami.

Tulisan ini mencoba menata ulang berbagai cara guru dapat menyampaikan pembelajaran, dengan menyoroti bagaimana kombinasi cara mengajar dapat menjadi jembatan menuju pembelajaran yang lebih efektif.


Mengapa Perlu Mengombinasikan Cara Mengajar?

Banyak guru masih bertanya: “Apakah ceramah masih boleh?” atau “Bagaimana membagi porsi antara penjelasan guru dan aktivitas siswa?”

Jawabannya: bukan pada boleh atau tidak boleh, melainkan pada proporsi dan tujuan.

Ketika keempatnya dikombinasikan, pembelajaran tidak hanya berjalan—tapi benar-benar hidup.

Di bawah ini, kita membahas enam variasi kombinasi strategi pembelajaran yang umum terjadi di kelas.


1. Guru Hanya Berceramah dan Mengajarkan Isi Buku

Catatan penting: Metode ini sangat tidak disarankan untuk menjadi satu-satunya cara mengajar.

Dalam pendekatan ini, guru biasanya:

  • membuka pembelajaran dengan ceramah,

  • menjelaskan isi buku,

  • menutup dengan ceramah lagi.

Metode ini membuat siswa sepenuhnya pasif. Mereka tidak diberi kesempatan berpikir, bertanya, atau mencoba. Banyak penelitian menunjukkan bahwa pembelajaran pasif semacam ini membuat informasi cepat lupa dan kurang bermakna.

Kelemahan utama: siswa tidak membangun pengetahuan mereka sendiri.
Solusi: tambahkan aktivitas eksplorasi, diskusi, atau latihan terstruktur.


2. Pembelajaran Eksploratif: Siswa Menemukan Sendiri Pengetahuan Baru

Ini adalah bentuk kombinasi yang kaya aktivitas dan paling banyak menggerakkan siswa.

Alurnya dapat seperti berikut:

  1. Guru memberi gambaran konsep melalui ceramah singkat.

  2. Siswa melakukan eksperimen, observasi, atau pengumpulan data dalam kelompok.

  3. Hasil temuan didiskusikan dalam kelompok atau pleno.

  4. Guru menutup dengan penegasan konsep.

Model ini sejalan dengan pendekatan inquiry dan discovery learning, yang memberi kesempatan siswa untuk “belajar menemukan”. Mereka tidak hanya menerima pengetahuan, tetapi mengonstruksi makna berdasarkan pengalaman langsung.

Kelebihan: meningkatkan rasa ingin tahu, keterampilan proses, dan keaktifan kelas.


3. Pembelajaran Latihan Pemecahan Masalah

Ketika guru ingin memastikan siswa benar-benar memahami konsep atau mampu menggunakannya dengan benar, latihan menjadi penting.

Alurnya:

  1. Ceramah pengantar atau pemantapan konsep.

  2. Latihan individu atau kelompok untuk memecahkan soal atau persoalan.

  3. Ceramah klarifikasi ketika muncul miskonsepsi atau tantangan.

Pendekatan ini sering digunakan dalam mata pelajaran seperti matematika, IPA, bahasa, atau kompetensi praktik lain.

Kelebihan: memperkuat pemahaman dan memastikan siswa mencapai penguasaan keterampilan dasar.


4. Pelatihan Terstruktur dengan Kombinasi Individu dan Kelompok

Dalam model ini, pembelajaran bergerak dari:

  • pemahaman awal, menuju

  • pemantapan individu, lalu

  • pendalaman melalui kerja kelompok.

Alurnya:

  1. Ceramah pengantar.

  2. Latihan individu (untuk menguji pemahaman awal).

  3. Penjelasan tambahan atau klarifikasi.

  4. Kegiatan kelompok untuk memperluas pemahaman.

  5. Kesimpulan atau rangkuman oleh guru.

Kombinasi ini baik untuk membangun keterampilan kolaboratif, sambil memastikan bahwa setiap siswa tetap bertanggung jawab terhadap proses belajarnya.


5. Pembelajaran Dua Fase: Eksplorasi → Latihan

Pendekatan ini membagi pembelajaran menjadi dua tahap:

Tahap 1: Eksplorasi
Siswa mencari pola, rumus, keteraturan, atau konsep dasar melalui aktivitas kelompok atau individu.

Tahap 2: Latihan
Setelah menemukan konsep, siswa menggunakannya untuk menyelesaikan pertanyaan atau tugas.

Alurnya:

  • Ceramah pembuka

  • Eksplorasi individu/kelompok

  • Ceramah kesimpulan eksplorasi

  • Ceramah pengantar latihan

  • Latihan individu

  • Penutup atau rangkuman

Pendekatan ini sangat efektif untuk membangun pemahaman konseptual sekaligus keterampilan prosedural.


6. Menemukan Keteraturan dan Menerapkannya (Discovery Extended)

Pada pendekatan ini, siswa didorong untuk melihat pola atau keteraturan dari suatu contoh soal atau situasi yang sudah mereka kenal sebelumnya.

Alurnya:

  1. Kegiatan kelompok untuk menemukan pola/keteraturan.

  2. Ceramah untuk memastikan pemahaman inti.

  3. Kegiatan kelompok lanjutan untuk memperdalam eksplorasi.

  4. Latihan individu untuk memastikan setiap siswa memahami.

  5. Kegiatan kelompok untuk menerapkan konsep pada kasus baru.

Ini salah satu bentuk pembelajaran mendalam, karena siswa benar-benar memahami “mengapa” sebelum mempelajari “bagaimana”.


Membangun Pembelajaran yang Berimbang

Enam variasi di atas menunjukkan bahwa tidak ada satu pola kaku dalam mengajar. Guru bebas berkreasi, asalkan:

  • pembelajaran tetap berpusat pada siswa,

  • tujuan pembelajaran tercapai,

  • dan aktivitas dirancang secara seimbang.

Ceramah tetap penting, tetapi porsinya harus cukup—bukan mendominasi seluruh waktu.
Aktivitas siswa sangat penting, tetapi perlu diarahkan dengan jelas.

Kombinasi yang tepat akan membantu siswa:

  • membangun pengetahuan secara mandiri,

  • berani bertanya dan berdiskusi,

  • menguatkan konsep melalui latihan,

  • dan mampu menerapkan pengetahuan dalam konteks nyata.


Penutup: Guru sebagai Perancang Pembelajaran

Pada akhirnya, guru adalah seorang “arsitek belajar”. Tugas guru bukan sekadar menyampaikan materi, tetapi merancang pengalaman belajar yang bermakna.

Dengan mengombinasikan berbagai strategi ceramah, eksplorasi, diskusi, dan latihan:

  • pembelajaran menjadi lebih hidup,

  • siswa lebih berpartisipasi,

  • dan hasil belajar meningkat secara signifikan.

Mengajar bukan tentang berapa banyak guru berbicara, tetapi tentang seberapa banyak siswa belajar.

Jumat, 27 September 2024

Bagaimana Guru Betumbuh (1)

Pengembangan profesional guru adalah proses yang kompleks dan berkelanjutan yang melibatkan pembelajaran dan adaptasi. David Clarke dan Hilary Hollingsworth dalam makalah mereka yang diterbitkan diTeaching and Teacher Education menggabungkan teori pembelajaran kontemporer untuk memberikan kerangka kerja yang kuat program pengembangan profesional guru, bagaimana guru berkembang dan bertumbuh dalam situasi yang kompleks. 

Bagaimana Guru Berubah?

Literatur tentang "pertumbuhan guru" menunjukkan berbagai perspektif tentang bagaimana guru berubah dan berkembang.

Clarke dan Hollingsworth (1994) mengidentifikasi enam perspektif utama:
  1. Melalui pelatihan – Guru belajar hal baru dari workshop atau pelatihan.

  2. Melalui penyesuaian – Guru mengubah cara mengajar karena kondisi di kelas atau sekolah berubah.

  3. Melalui pengembangan diri – Guru ingin menjadi lebih baik dan belajar secara mandiri.

  4. Melalui perubahan di sekolah – Guru membuat inovasi atau perbaikan dalam lingkup kelas atau sekolahnya.

  5. Melalui kebijakan – Guru berubah karena ada kebijakan baru dari sekolah atau pemerintah.

  6. Melalui pengalaman sehari-hari – Guru belajar dari apa yang mereka lihat dan alami di kelas setiap hari.

Cara terakhir ini sangat penting sekarang: guru berkembang karena mereka terus belajar dari pengalaman dan praktik mereka sendiri. Dalam perspektif ini, perubahan diidentifikasi dengan pembelajaran dan dianggap sebagai komponen alami dan diharapkan dari aktivitas profesional guru dan sekolah.

Model Interkoneksi (Clarke and Hollingeworth, 2002)


Model interkoneksi yang diusulkan oleh Clarke dan Hollingsworth menggambarkan perubahan guru melalui proses mediasi "refleksi" dan "pelaksanaan" dalam empat domain yang berbeda:

  1. Domain Pribadi: Pengetahuan, keyakinan, dan sikap guru.
  2. Domain Praktik: Eksperimen profesional yang dilakukan oleh guru.
  3. Domain Konsekuensi: Hasil yang dianggap penting oleh guru.
  4. Domain Eksternal: Sumber informasi, stimulus, atau dukungan dari luar. ​

Model ini menekankan bahwa perubahan dalam satu domain dapat memicu perubahan dalam domain lain melalui proses refleksi dan pelaksanaan. Misalnya, eksperimen dengan strategi pengajaran baru (domain praktik) dapat menyebabkan perubahan dalam keyakinan guru (domain pribadi) setelah guru merefleksikan hasil dari eksperimen tersebut (domain konsekuensi). ​

Proses Mediasi: Refleksi dan Pelaksanaan

Proses mediasi dalam model ini terdiri dari dua mekanisme utama:

PelaksanaanPenerapan ide atau keyakinan baru dalam praktik. Misalnya, seorang guru yang mencoba strategi pengajaran baru yang dipelajari dari sesi pelatihan

RefleksiPertimbangan aktif, persisten, dan hati-hati terhadap pengalaman baru. Misalnya, seorang guru yang merefleksikan hasil dari eksperimen pengajaran baru dan menarik kesimpulan tentang efektivitasnya.

Lingkungan di mana guru bekerja dapat memiliki dampak signifikan pada pertumbuhan profesional mereka. Faktor-faktor seperti dukungan dari rekan kerja, akses ke sumber daya, dan budaya pengembangan profesional di sekolah dapat mempengaruhi sejauh mana guru dapat bereksperimen dengan praktik baru dan merefleksikan hasilnya.

Pola Pertumbuhan Profesional

Clarke dan Hollingsworth mengidentifikasi dua jenis pola perubahan pertumbuhan guru:

  1. Urutan Perubahan: Dua atau lebih domain yang terhubung melalui proses refleksi atau pelaksanaan, di mana data empiris mendukung terjadinya perubahan dalam setiap domain dan hubungan kausalnya.
  2. Jaringan Pertumbuhan: Urutan perubahan yang lebih tahan lama dan menunjukkan pertumbuhan profesional yang berkelanjutan.

Misalnya, seorang guru yang terus-menerus bereksperimen dengan strategi pengajaran baru dan merefleksikan hasilnya dapat mengembangkan keyakinan baru tentang efektivitas strategi tersebut, yang pada gilirannya mempengaruhi praktik pengajaran mereka secara berkelanjutan.

Implikasi untuk Pengembangan Profesional Guru

Model interkoneksi memiliki implikasi penting untuk perencanaan program pengembangan profesional. Dengan mengenali kompleksitas pertumbuhan profesional dan berbagai jalur perubahan yang mungkin terjadi, program pengembangan profesional dapat dirancang untuk mendukung berbagai gaya belajar dan kebutuhan individu guru. 

Program yang efektif harus memberikan kesempatan bagi guru untuk bereksperimen dengan praktik baru, merefleksikan hasilnya, dan mengembangkan keyakinan dan pengetahuan baru yang relevan dengan konteks profesional mereka.

Sumber Bacaan: Elaborating a model of teacher professional growth David Clarke and Hilary Hollingsworth


Senin, 15 Juli 2024

Ilusi “Berpikir di Luar Kotak”

Banyak orang tidak tahu bahwa frasa “think out of the box” berasal dari teka-teki klasik sembilan titik (9-dots problem). Pada teka-teki itu, peserta diminta menghubungkan semua titik hanya dengan empat garis lurus tanpa mengangkat pensil. Kebanyakan orang gagal karena mereka secara tidak sadar membayangkan garis batas kotak di sekeliling titik-titik tersebut—padahal tidak ada kotaknya. Dari sinilah muncul pesan: Untuk menyelesaikan masalah, kita harus melampaui batas imajinatif yang kita buat sendiri. Masalahnya, ketika kalimat itu dipakai dalam konteks kerja, pendidikan, atau pelatihan, ia tidak membawa kejelasan. Yang ada hanya tekanan: “Pokoknya harus kreatif.” Padahal kreativitas tidak lahir dari desakan, tetapi dari struktur, pemahaman, dan latihan. Lalu, kalau bukan ‘di luar kotak’, bagaimana? Daripada menggunakan frasa klise itu, ada tiga pendekatan yang menurut saya jauh lebih konkret dan membantu: 1️⃣ Berpikirlah Berbeda (Different Thinking) Ini bukan berarti “bebas sebebas-bebasnya”, tetapi berani melihat sesuatu dari sudut pandang yang tidak biasa. Contoh sederhana: Alih-alih bertanya, “Bagaimana cara membuat pembelajaran lebih menarik?” cobalah bertanya, “Bagaimana jika pembelajaran tidak dimulai dari buku?” Pertanyaan alternatif saja sudah cukup untuk memicu ide baru. 2️⃣ Gabungkan Ide (Combine Ideas) Sebagian besar inovasi besar justru lahir dari menggabungkan hal yang sudah ada, bukan dari ide “ajaib” yang benar-benar baru. Misalnya: sepeda + motor → sepeda listrik buku + video → buku interaktif kurikulum + permainan → pembelajaran berbasis game Kemampuan menggabungkan ide adalah bentuk kreativitas yang realistis dan dapat dilatih. 3️⃣ Gunakan Keterbatasan sebagai Pemantik Kreativitas Ini mungkin terdengar kontradiktif, tetapi keterbatasan justru memaksa kita berpikir kreatif. Ketika kita punya waktu terbatas, anggaran terbatas, alat terbatas—justru di situ kita mulai mencari cara-cara yang lebih cerdas. Contoh nyata: Guru yang hanya memiliki papan tulis dan spidol bisa tetap menciptakan pembelajaran aktif tanpa alat digital. Batasan memaksa kita mencari alternatif. Hal yang Lebih Penting daripada “Keluar dari Kotak”. Menurut saya, ada empat prinsip sederhana yang sering saya gunakan dalam pelatihan dan terbukti jauh lebih berguna: Berpikir terbuka sebelum masuk ke logika. Terima ide dulu, seleksi nanti. Keluar dari pola pikir awal. Jangan terjebak pada ide pertama yang muncul. Gabungkan ide yang bertabrakan. Kadang kombinasi yang tampak “aneh” justru paling kreatif. Gunakan keterbatasan dengan cerdas. Latihan kreativitas terbaik justru ketika pilihan kita sempit. Keempat prinsip ini jauh lebih operasional daripada sekadar berkata “think out of the box ya!” Jadi, masih perlu berpikir di luar kotak? Tidak ada salahnya menggunakan frasa itu. Tapi kalau kita ingin benar-benar mendorong kreativitas—di kelas, di kantor, ataupun dalam tim—maka kita perlu bahasa yang lebih jelas dan lebih membantu proses berpikir. Bukan sekadar jargon motivasi, tapi panduan nyata. Kadang, kreativitas justru lahir bukan karena kita keluar dari kotak, tetapi karena kita memahami kotaknya, menggunakannya, lalu merombaknya menjadi sesuatu yang baru. Kotaknya tidak selalu harus ditinggalkan—kadang ia justru menjadi bahan bakar untuk ide-ide segar.

Free online courses from MIT for entrepreneurs and innovators

Do you have an innovative idea but are not sure how to transform it into venture? Are you looking to level up your entrepreneurial skills? Do you want to deepen your knowledge of innovation and technology?

Part of MIT Open Learning, MIT OpenCourseWare and MITx offer a selection of free courses and resources straight from the MIT classroom designed to empower current and aspiring entrepreneurs with the skills to jumpstart and grow their ventures. Whether you’re looking to expand your business, deepen your knowledge of technology, or are interested in introducing innovative ideas to your organization, try your hand at these courses.

Entrepreneurship courses

·       Entrepreneurship 101: Who is Your Customer: Learn about the first important skill for aspiring entrepreneurs — the paying customer.

·       Entrepreneurship 102: What Can You Do for Your Customer?: Discover and apply the process of entrepreneurial product design.

·       Becoming an Entrepreneur: Develop the business skills and startup mindset needed to embark on your entrepreneurial path.

·       Nuts and Bolts of Business Plans: Explore the ins and outs of preparing and launching a new venture plan.

·       Executing Strategy for Results: Discover practical tools that help leaders achieve their organizations’ strategic priorities, as well as novel ways to use data to measure strategy execution and identify what is and isn’t working.

·       The Analytics Edge: Get real-world examples of quantitative methods providing a significant competitive edge that has led to a first order impact on some of today’s most important companies.

·       Seminar in Corporate Entrepreneurship: Learn about the practical challenges of making an established company entrepreneurial, and examine various roles related to corporate entrepreneurship.

·       Business and Impact Planning for Social Enterprises: Think through your own social business model and impact plan.

·       Entrepreneurship without Borders: Examine the opportunities and problems for entrepreneurs globally.

·       Entrepreneurial Finance: Take a deep dive into the elements of entrepreneurial finance, focusing on technology-based start-up ventures and the early stages of company development.

·       Communication for Managers: Develop and polish communication strategies and methods through discussion, examples, and practice with an emphasis on writing and speaking skills.

·       Leadership Development: Enhance your leadership skills.

·       You Can Innovate: User Innovation & Entrepreneurship: Understand the phenomena of — and distinctions between — user and producer innovation, concepts such as sticky information and low-cost innovation niche, and more.

·       Bootstrapping for Entrepreneurs: Learn about the process of innovating in resource-scarce environments.

·       Just Money: Banking as if Society Mattered: Understand the role banks play as intermediaries in our economy and how they can produce positive social, environmental, and economic change.

Technology and innovation courses

·       Ethics of Technology: Discover the tools of philosophical ethics concerning technology.

·       AI 101: Get an introduction to artificial intelligence designed specifically for those with little to no knowledge of AI.

·       Mathematics of Big Data and Machine Learning: Explore the Dynamic Distributed Dimensional Data Model, a breakthrough in computer programming that combines graph theory, linear algebra, and databases to address big data problems.

·       Product and Service Creation in the Internet Age: Change the way you think about innovation by exploring new, internet-age innovation processes.

·       The Iterative Innovation Process: Learn how you can use the iterative innovation process to develop your own innovative ideas.

·       Innovation Systems for Science, Technology, Energy, Manufacturing, and Health: Examine the science and technology innovation system.

·       The Science and Business of Biotechnology: Take a close look at early-stage biotechnology companies and understand the underlying science, technology, and disease targets to facilitate drug discovery, clinical development, and greater patient access to new therapies.

·       FinTech: Shaping the Financial World: Explore the ways in which new technologies are disrupting the financial services industry.

·       Adaptive Markets: Financial Market Dynamics and Human Behavior: Explore the origins of market efficiency and its failures, the foundations of investor behavior, and practical implications.

·       Optimization Methods in Business Analytics: Get an introduction to the theory, algorithms, and applications of optimization.

·       Project Evaluation: Essays and Case Studies: This book — based primarily on materials prepared for the course Project Evaluation — is structured to be of interest to anyone focused on infrastructure systems, especially engineers, planners, and managers who design, build, and operate those systems.

·       Entrepreneurship Collection on MIT OpenCourseWare: Learn about entrepreneurship at MIT and browse through a selection of the institute’s entrepreneurship-related courses.