Senin, 03 Oktober 2016

How to Help Teachers Succeed

Ada banyak pandangan tentang  bagaimana guru bertumbuh dan berkembang menjadi sukses dalam menjalankan tugasnya. Glickman melalui bukunya  "Leadership for learning: How to Teachers Succeed" menyarankan kepada para kepala sekolah atau pengawas sekolah untuk mengkaji dua aspek berikut, yaitu tingkat komitmen dan tingkat abstraksi guru. Hasil pengkajian kedua aspek ini kemudian digunakan sebagai dasar untuk memilih pendekatan pengembangan guru yang akan diterapkan.


Komitmen
Komitmen merujuk kepada usaha dan penyediaan waktu dalam melaksanakan tugasnya secara relatif lebih banyak dari apa yang telah ditetapkan baginya. Komitmen lebih luas daripada concern (perhatian), sebab komitmen itu mencakup waktu dan usaha.

Berdasarkan tingkat komitemnnya, ada guru yang komitmennya rendah dan tinggi. Guru yang memiliki komitemen rendah cenderung: (1) sedikit sekali perhatiannya terhadap siswa-siswanya; (2) waktunya yang disediakan untuk mengembangkan kerjanya sangat sedikit; dan (3) perhatiannya hanya mempertahankan jabatannya.

Sedangkan ciri-ciri seorang guru yang komitmennya tinggi cenderung: (1) perhatiannya tinggi terhadap siswa-siswanya dan guru-guru lainnya; (2) waktu dan tenaganya yang disediakan banyak sekali; dan (3) perhatian utamanya adalah bekerja sebanyak mungkin bagi kepentingan orang lain.

Abstraksi
Abstraksi guru adalah tingkat kemampuan guru mengelola, mengklarifikasi masalah-masalah, menentukan alternatif pemecahan masalah, dan kemudian merencanakan tindakan-tindakan yang dilakukan berkaitan dengan pengajarannya.

Guru-guru yang memiliki kemampuan berpikir abstrak rendah tidak merasa bahwa mereka memiliki masalah-masalah pengajaran, atau apabila mereka merasakannya mereka sangat bingung tentang masalahnya. Mereka tidak tahu apa yang bisa dikerjakan.
Guru-guru yang memiliki kemampuan berpikir abstrak menengah biasanya bisa mendefinisikan masalah berdasarkan bagaimana mereka melihatnya. Mereka bisa memikirkan satu atau dua kemungkinan tindakan, tetapi mereka mengalami kesulitan dalam memikirkan rencana yang komprehensif.
Guru-guru yang memiliki kemampuan abstrak tingkat tinggi bisa memandang masalah-masalah pengajaran dari banyak perspektif (diri sendiri, siswa, orang tua, administrator, dan alat pelajaran), dan mengumpulkan banyak rencana alternatif. Selanjutnya mereka bisa memilih satu rencana dan memikirkan langkah-langkah pelaksanaan.

Mengelompokkan hasil pengkajian kepada empat tipe guru  (Drop out, unfocused, analitychal and professional teacher)
  Berdasarkan kedua faktor tersebut, kita dapat mengklasifikasikan guru menjadi empat tipe, yaitu drop out teachers, unfocused workers, analytical observer, dan professionals teacher.

Drop out teacher memiliki ciri-ciri  (1) melaksanakan tugas hanya berusaha sampai batas minimal; (2) memiliki sedikit motivasi untuk meningkatkan kompetensinya; (3) tak dapat memikirkan perbaikan apa yang harus dilakukan; dan (4) puas dengan melakukan tugas rutin yang dilaksanakan dari hari ke hari.
Unfocused workers teacher memiliki ciri-ciri (1) memiliki antusias yang tinggi dalam bekerja; (2) enerjik dan penuh kemauan; (3) pekerja keras dan biasanya meninggalkan sekolah dengan membawa pekerjaan untuk dikerjakan di rumah; dan (4) kemampuan kurang terutama dalam menyelesaikan persoalan, jarang sekali melaksanakan sesuatu secara realistis.
Analytical observers teacher memiliki ciri-ciri (1) intelegensi tinggi; (2) mampu memberikan gagasan yang baik tentang apa yang dapat dilakukan di kelasnya bahkan sekolah sebagai suatu keseluruhan; (3) dapat membahas berbagai isu, dapat memikirkan langkah demi langkah terhadap apa yang membuat kesuksesan bagi pelaksanaan idenya itu; dan (4) akan tetapi idenya sering tak sampai terlaksana, karena ia tidak mau menyediakan waktu, tenaga, dan perhatian yang diperlukan untuk melaksanakan rencana itu
Professionals teacher memiliki ciri-ciri berikut  (1) bersedia meningkatkan dirinya sendiri, siswanya, dan guru lainnya; (2) dapat berpikir dan melaksanakan tugas yang sulit, dapat memilih dengan rasional; mampu melaksanakan dan mengembangkan prencanaanya dengan tepat; (3) selalu memiliki ide, kreatif, aktivis, dan selalu membuat perencanaan yang komprehensif.

Pendekatan Peningkatan Kualitas Guru
Berdasarkan hasil kajian terhadap kondisi dan perkembangan guru yang dilihat dari dua aspek tersebut, Glickman mengajukan tiga pendekatan yang bisa diterapkan dalam mengembangkan guru sesuai kondisi dan perkembangan guru yaitu directive-control, collaborative approach dan non directive approach.
  • Directive-control (pendekatan direktif) dilaksanakan pada guru drop out, yang memiliki derajat abstraksi dan komitmen yang rendah. Pada tahap ini kepala sekolah banyak mengarahkan guru. kepala sekolah atau supervisor menginformasikan, mengarahkan, menjadi model, menetapkan patokan tingkah laku, dan menilai serta menggunakan insentif sosial dan material.
  • Collaborative approach (pendekatan kolaboratif) dilaksankan pada guru tipe unfocused workers, yang memiliki derajat abstraksi rendah dan guru tipe guru analytical observer, yang derajat komitmen tinggi, yang memiliki derajat abstraksi yang tinggi namun komitmennya rendah. Pada tahap ini kepala sekolah atau supervisors berkolaborasi dengan guru.
  • Non directive approach (pendekatan nondirektif) dilaksanakan pada profesional teacher,  guru yang memiliki derajat abstraksi tinggi dan juga derajat komitmen tinggi. Kegiatan kepala sekolah atau supervisor adalah mendengarkan, memperhatikan dan mendiskusikan dengan guru, membangkitkan kesadaran sendiri, bertanya, dan mengklarifikasi pengalaman guru. 
Semoga bermanfaat
*coretan sebelum pulang..:)

Sumber bacaan :
Glickman, Carl D.2002. Leadership for learning : how to help teachers succeed.
Ginawan, Imam. 2015. Mengembangkan alternatif-alternatif pdendekatan dalam pelaksanaan supervisi pembelajaran. Universitas Negeri Malang : Jurnal manajemen pendidikan

Kamis, 29 September 2016

Super, Excellent atau Good Teacher?

Mengajar adalah profesi yang paling indah di dunia. Sebagai guru kita membuat kontribusi langsung
dan terukur bagi bangsa kita dan bagi dunia dengan membantu anak-anak muda mengenal pengetahuan dan keterampilan. Kita tahu bahwa kita menghabiskan waktu untuk mencapai tujuan terhormat dan hidup Kita mempunyai satu tujuan. Walaupun, pasti Kita telah tahu bahwa bayaran guru itu kejam, karena sebagian besar orang di luar pendidikan memandang profesi mengajar seperti menjaga bayi dengan buku. Sebagai akibatnya, jika kekayaan dan gengsi adalah hal yang penting buat Kita, profesi mengajar akan menjadi hal yang mengecewakan. Mengajar juga memberikan rasa sakit fisik: berjam-jam berdiri, membungkuk untuk membaca tulisan kecil di meja yang kecil pula, dan membawa tepat buku-buku dan kertas dari dan ke rumah yang dapat mengakibatkan kita pulang ke rumah dengan kaki pegal, punggung dan kepala yang sakit.

Pada dasarnya guru terbagi dalam tiga rasa dasar-super, excellent, dan good. Rasa apa yang Kita inginkan sebagai guru tergantung pada kekuatan personal kita, hubungan pertemanan, tujuan profesional, dan prioritas individual Anda. Tidak semua orang dapat atau harus menjadi guru super. Sangatlah diterima guru yang excellent atau good. (Mengajar yang buruk sangatlah tidak akan pernah diterima).

Guru-guru super biasanya tiba di sekolah lebih dulu dan pulang paling akhir. Mereka juga menghadiri seminar dan melanjutkan kuliah pendidikan, sukarelawan bagi kegiatan murid, dan memberikan diri mereka bagi murid-murid yang membutuhkan bantuan ekstra di dalam maupun di luar kelas. Karena guru super menikmati hubungan yang solid dengan para muridnya, mereka tidak harus berfokus pada berapa banyak waktu atau energi untuk menerapkan disiplin di kelas-kelas mereka. Sebaliknya, ada pasang surut dan proses memberi dan menerima. Sayangnya, jika mereka bukan orang yang luar biasa dengan cadangan energi yang mengagumkan atau jika tidak berusaha meremajakan diri mereka sendiri secara teratur, para guru super mungkin akan sangat lelah. Mengajar dengan super membutuhkan energi fisik, emosi dan mental yang sangat tinggi.

Guru-guru excellent menikmati pekerjaan mereka, tetapi mereka membatasi jumlah waktu dan energi yang mereka baktikan untuk mengajar. Mereka peduli dan melakukan yang terbaik bagi murid mereka-tetapi tidak mengorbankan kebutuhan keluarga mereka sendiri. Para guru excellent juga bekerja lembur karena untuk mengajar yang baik dibutuhkan sejumlah waktu lembur yang tidak di bayar ( seperti memeriksa pekerjaan murid, membuat rencana mengajar, dan mengawasi karya wisata), tetapi mereka memberi batasan waktu lembur yang mau mereka kerjakan.  
Mengajar dengan excellent membutuhkan pengeluaran energi yang lebih sedikit dibandingkan dengan mengajar super, tetapi mengajar dengan excellent tetap dapat membuat Anda lelah jika tidak hati-hati., berikan waktu untuk menjaga diri Anda sendiri dan keluarga Anda. Anda harus menjelaskan kepada teman dan keluarga Anda bahwa pekerjaan Anda adalah prioritas utama dan Anda harus menghabiskan malam-malam dan akhir pekan Anda untuk mengembangkan pelajaran dan keterampilan Anda.

Guru yang good mengerjakan pekerjaan mereka dengan baik, tetapi mereka memahami batasan mereka sendiri. Mereka membuat batasan yang sangat jelas antara profesionalitas dan waktu pribadi. Mereka memperlakukan murid mereka dengan rasa hormat dan mereka melakukan yang terbaik untuk memastikan bahwa semua murid mempelajari materi yang dipersyaratkan, tetapi mereka tidak merasa  berkewajiban untuk menyelamatkan murid mereka satu persatu. Guru-guru yang good, tiba di sekolah cukup awal untuk menyiapkan diri, tetapi mereka tidak menawarkan kunjungan ke rumah mereka atau tidak juga jam istirahat mereka. Mereka juga tidak menghabiskan waktu mereka setelah habis jam pelajaran untuk bincang-bincang informal atau konseling. Mereka mengunci kelas-kelas mereka pada malam hari dan fokus pada kehidupan sendiri, pendidikan sendiri, hobi, teman dan keluarga mereka. Dengan mencitakan batasan yang jelas antara kehidupan pribadi dan kehidupan profesional mereka, para guru yang good memelihara energi emosioanal dan mental mereka. Sebagai akibatnya, mereka seringkali menikmati karir mengajar yang menarik dan panjang. Mereka adalah guru yang dengan sedihnya melambaikan tangan perpisahan kepada para guru super dan excellent yang telah menilai terlalu tinggi sumber daya personal mereka dan meledak setelah beberapa tahun mengajar dengan kecepatan yang tinggi.

Tanpa memandang apakah Kita memilih menjadi seorang guru yang super, excellent atau good. Kita tetaplah seorang yang memberikan kontribusi kepada masyarakat dan menjalankan tugas mulia, dan memberikan pembentukan masa depan negara kita. Selain diri kita sendiri, murid kita, dan beberapa pengawas, tak seorangpun yang tahu berapa banyak energi yang kita abdikan bagi pekerjaan kita. Tetapi, kita menjadi guru bukanlah untuk mendapatkan penghargaan dari orang banyak. Kita mengajar bukan untuk keinginan gengsi, tetapi kita mengajar karena kita yakin bahwa ini adalah hal yang penting. Perumpamaan mengajar adalah seperti berlari maraton dalam kegelapan sendirian. Tidak banyak yang tahu apa yang sedang kita lakukan, dan mereka yang tahu tidak memperhatikan-tetapi kealpaan mereka tidak membuat kita menjadi lambat. Kita tetap menikmati kepuasan dan kegembiraan akan selesainya pertandingan, dimana kitalah pemenang yang sesungguhnya.

Semoga bermanfaat
# dalam perjalanan kreta api Rantauprapt-Medan.

Sumber :
Lou Anne Johnson, 2008, Teaching outside of the box : How to grab your students by their brain. 

Jumat, 16 September 2016

Level Motivasi Pembelajaran Aktif

Permasalahan motivasilah yang sering kita temukan di awal kehadiran siswa kita di kelas. Sayangnya, permasalahan motivasi jugalah yang akan kita saksikan pada hari terakhir tahun ajaran sekolah. Meskipun ada banyak sekali buku yang ditulis tentang motivasi, serta segala macam pertemuan guru yang membahas masalah tersebut, sebagian besar dari kita masih sulit mengubah para siswa yang menghidari belajar dan yang belajar dengan setengah hati, menjadi siswa yang bertanggung jawab dan pelajar yang sepenuhnya aktif.

                Akan tetapi tidak semua guru merasa demikian. 

Beberapa guru, yang saya sebut sebagai guru hebat, memiliki trik khusus untuk membuat siswa meningkatkan motivasi mereka. Jika kita mengunjungi kelas mereka, kita akan melihat, minggu demi minggu, semakin sedikit siswa yang termasuk kategori motivasi ketiga dan keempat, sebaliknya semakin banyak siswa yang ari murid-muridnya muncul komentar-komentar semacam , " Saya suka masuk kelas. Saya tidak suka membolos. Beliau membuat kami menyukai sejarah dan membuatnya hidup. Saya belum pernah belajar sekeras ini seumur . Saya tidak pernah menyangka akan menyukai pelajaran itu, tapi saya benar-benar menyukai pelajaran sekarang.

Mungkin Anda teringat bahwa Anda sendiri pernah memiliki guru semacam ini, atau Andalah guru hebat itu. Yang menarik adalah guru-guru hebat ini tidak mendapatakan hasil yang mereka peroleh melalui cara-cara yang biasa saja.

Perhatikan sekelompok guru hebat dan Anda akan mendapati bahwa ada guru yang terus menerus memberikan pelajaran, ada yang tidak. Ada guru yang bersikap ketat dan banyak menuntut, sebagian lainnya bersika santai dan menerima. Ada guru yang bersifat hangat, sedangkan yang lainnya berjarak dengan siwa. Ternyata tidak ada satu cara tunggal untuk memotivasi siswa agar mau melakukan yang terbaik yang mereka bisa lakukan.

Ini merupakan berita baik bagi semua guru yang ingin menginspirasi pembelajaran aktif. Ini menunjukkan bahwa kita tidak perlu mengubah kepribadian mengajar kita dengan mengikuti model tertentu. Sebaliknya, kita dapat menciptakan ciri khas kita sendiri dalam mengajar dengan hebat, memberikan motivasi untuk meningkatkan pembelajaran aktif dengan cara kita sendiri. 

Level motivasi belajar siswa
Ada 4 level motivasi belajar siswa antara lain: 
Level 1: Siswa yang sepenuhnya aktif 
Beberapa siswa siap dan mau menyelam dalam tugas-tugas sekolah. Ketika kira memberikan empat soal untuk pekerjaan rumah, siswa semacam ini tidak hanya akan mengerjakan empat soal tersebut, tetapi melakukannya dengan ciri khas tersendiri. Bahkan merapikan pekerjaan rumah mereka itu sebelum dikumpulkan, sehingga pekerjaan mereka sangat rapi, atau dikerjakan dalam lembar kerja khusus sehingga tampak profesional. Siswa yang termasuk dalam kategori ini mungkin bukan yang paling pintar di kelas, dan mereka mungkin bukan yang mendapatkan nilai ujian yang tertinggi. Namun mereka adalah siswa ulet, memiliki motivasi yang berasal dari dalam diri sendiri, dan siap memberikan kemampuan terbaik mereka. Siswa-siswi seperti ini menyenangkan untuk diajar.

Level 2: Siswa yang bertanggung jawab 
Beberapa siswa lain akan memasuki ruang kelas dalam keadaan siap untuk melakukan apapun yang kita minta, tetapi tidak lebih dari itu. Ketika kita memberikan siswa-siswi ini empat soal untuk pekerjaan rumah, mereka akan mengerjakannya dengan hati-hati, namun jarang sekali kita merasa mereka mengerjakannya sebaik mungkin. Mereka adalah para siswa yang penurut dan hormat, lebih termotivasi untuk menyenangkan kita dibandingkan menyibukkan diri sepenuhnya dalam mengerjakan tugas. Siswa semacam ini cukup mudah untuk diajar

Level 3: Siswa yang belajar dengan setengah hati 
Di dalam kelas juga terdapat siswa-siswi yang belajar dengan setengah hati. Beri mereka empat soal dan mereka hanya akan mengerjakan dua. Atau, jika mereka mengerjakan keempat-empatnya, mereka akan mengerjakannya dengan asal-asalan, akan banyak kesalahan yang tidak perlu. Siswa-siswai semacam ini biasanya lambat untuk mulai belajar dan cepat menyerah, dan mereka bisa menjadi siswa yang agak membuat frustasi untuk diajar.

Level 4: Siswa yang menghindar belajar  
Terakhir, kita mungkin akan mendapatkan siswa yang malas atau sama sekali tidak mau belajar. Tentu saja, beberapa diantara siswa semacam ini akan berusaha sebaik mungkin untuk menghindar belajar. Berikan mereka empat soal untuk PR, dan mereka akan mengeluh dan mengabaikan tugas itu. Mereka adalah siswa-siswi yang cenderung memiliki masalah kedisiplinan, siswa yang sangat sering membuat kita kesal.

Semoga dengan memahami ragam motivasi belajar dan permasalahan yang melatarbelakanginya, mudah-mudahan Anda dapat mendorong siswa sepenuhnya belajar aktif. 

Bahan bacaan : Merril Harmin & Melanie Toth, 2012. Inspiring Active Learning : A complete handbook for today's Teacher

Rabu, 22 Juni 2016

Kepala Sekolah Yang Efektif

“Ada sekolah tidak baik, walau dipimpin oleh kepala sekolah yang baik.Tapi, tidak ada sekolah baik dengan kepala sekolah yang tidak baik”. (Prof. Ibrahim Bafadal, M.Pd)

Cukup lama saya memikirkan apa sebenarnya makna kutipan diatas ketika pertama kali membacanya, sebelum saya menyimpulkan bahwa sebuah sekolah yang efektif tidak mungkin dipimpin oleh seorang kepala sekolah yang buruk, tetapi kepala sekolah yang buruk akan menjadikan sebuah sekolah yang baik menjadi buruk. Setelah itu ada muncul pertanyaan lain di benak saya, “ klo begitu, apakah  kriteria seorang kepala sekolah yang efektif dan bagaimana caranya menjadi kepala sekolah yang efektif?”. Untuk menjawab kedua pertanyaan itulah, saya mencoba membuat tulisan singkat ini, yang adalah merupakan refleksi selama memberi pelatihan, mendampingi dan membaca berbagai referensi tentang kepala sekolah. Let’s start

Banyak penelitian menyimpulkan bahwa kepemimpinan yang efektif dari seorang kepala sekolah memiliki hubungan positif dan berpengaruh sangat kuat bagi prestasi siswa. Bahkan lebih dari sekadar prestasi siswa, kepemimpinan sekolah yang efektif memiliki pengaruh kuat terhadap student attendance, student engagement with school, student academic self- efficacy, staff satisfaction, and collective teacher efficacy (Sergiovanni, 1987 dan Schlechty, 2009). Lunenburg   (2010)   menegaskan  bahwa tanggung jawab yang paling utama seorang kepala sekolah adalah meningkatkan kualitas pembelajaran dan kesuksesan semua peserta didik. “The principal’s primary responsibility is to promote the learning and success of all students”. Keyakinan Lunenburg dapat dipahami, sebab fungsi utama sekolah adalah pembelajaran. Tidak ada kualitas sekolah tanpa kualitas pembelajaran.

Oleh karena itu dapat dikatakan bahwa efektif atau tidaknya seorang kepala sekolah haruslah dilihat dari kemampuannya dalam menjalankan fungsinya sebagai pemimpin pembelajaran. Kepemimpinan yang mampu memberikan proses pembelajaran yang berkualitas dan kesuksesan semua peserta didik

Kepemimpinan pembelajaran sangat penting untuk diterapkan disekolah karena seperti disebut sebelumnya bahwa kepemimpinan pembelajaran berkontribusi sangat signifikan terhadap peningkatan prestasi belajar siswa. Kepemimpinan pembelajaran mampu memberikan dorongan dan arahan terhadap warga sekolah untuk meningkatkan prestasi belajar siswanya. Kepemimpinan pembelajaran juga mampu memfokuskan kegiatan-kegiatan warganya untuk menuju pencapaian visi, misi, dan tujuan sekolah. Kepemimpinan pembelajaran penting diterapkan di sekolah karena kemampuannya dalam membangun komunitas belajar warganya dan bahkan mampu menjadikan sekolahnya sebagai sekolah belajar (learning school).

Kepala sekolah memang mempunyai sejumlah peran yang harus dimainkan secara bersama, antara lain mencakup educator, manager, administrator, supervisor, motivator, enterpreneur, dan leader.  Peran kepala sekolah sebagai leader (pemimpin) dan spesifiknya sebagai pemimpin pembelajaran, sangat kurang memperoleh porsi yang selayaknya. Survey yang pernah saya lakukan saaat memberikan pelatihan, kepala sekolah hanya memberikan waktunya kurang dari 10 persen sebagai pemimpin pembelajaran. Bayangkan, sekolah yang fungsi utamanya adalah pembelajaran, pada prosesnya dikelola atau dipimpin oleh kepala sekolah dengan hanya memberikan waktunya sepuluh persen untuk hal - hal yang berkaitan dengan fungsi utamanya yakni pembelajaran. Apa yang terjadi? Saya pikir Anda bisa menebaknya sendiri.

Alasan pembenaran yang sering disampaikan oleh kepala sekolah adalah karena disibukkan dengan pekerjaan-pekerjaan rutin yang bersifat administratif, pertemuan-pertemuan, dan kegiatan-kegiatan lain yang bersifat non-akademis sehingga waktu untuk mempelajari pembaruan/inovasi kurikulum, proses belajar mengajar, dan penilaian hasil belajar siswa kurang mendapatkan perhatian. Padahal, ketiga hal yang terakhir sangat erat kaitannya dengan peningkatan mutu proses belajar mengajar, yang pada gilirannya, mutu proses belajar mengajar sangat berpengaruh terhadap peningkatan kualitas siswa dan kualitas sekolah secara keseluruhan. Untuk itu, sudah selayaknya peran kepemimpinan pembelajaran memperoleh porsi waktu yang lebih besar dibanding dengan peran-peran yang lain. Peran-peran yang yang lain bukan tidak penting, akan tetapi peran kepemimpinan pembelajaran harus yang terpenting.

Kepemimpina pembelajaran secara singkat bisa kita katakan sebagai sebuah kepemimpinan yang berorientasi pada pembelajaaran yang meliputi kurikulum, proses belajar mengajar, asesmen (penilaian hasil belajar), pengembangan guru, layanan prima dalam pembelajaran, dan pembangunan komunitas belajar di sekolah. Seorang kepala sekolah yang menerapkan perannya sebagai pemimpin pembelajaran, setidaknya akan menunjukkan ciri-ciri berikut: 
  • Memiliki visi yang kuat tentang masa depan sekolah, dan mendorong semua staf untuk 
  • Mengadakan pengembangan profesional di kalangan guru. Tekun mengamati para guru di kelas dan memberikan umpan balik yang positif dan konstruktif dalam rangka memecahkan masalah dan memperbaiki pembelajaran
  • Memantau prestasi siswa secara individual dan kolektif dan memanfaatkan informasi untuk merencanakan dan meningkatkan pembelajaran
  • Memiliki harapan yang tinggi terhadap prestasi siswa dan kinerja staf

Wahai para Ibu/Bapak Kepala Sekolah, sudahkah mengelola sekolah dengan mengutamakan peningkatan mutu pembelajaran atau masih berkutat dengan alasan-alasan pembenaran seperti diatas. Jika belum, sudah saatnya untuk memulainya dari sekarang, demi pendidikan yang lebih baik bagi anak-anak kita. Semoga bermanfaat. 

Sumber :
Bafadal, Ibrahim. 2016. Penguatan manajemen pendidikan persekolahan dalam rangka menghasilkan SDM di era kompetisi global. Seminar Nasional Manajemen Pendidikan, Malang  
Kemendikbud, 2010. Kepemimpinan pembelajaran : Materi penguatan kepala sekolah
Supardi, 2013. Sekolah Efektif : Konsep dasar dan praktiknya. Jakarta : Rajawali Grafindo Persada
 

Selasa, 31 Mei 2016

Kami butuh pendidikan, bukan sekolah

Beberapa tahun terakhir ini kita menyaksikan sekolah menjadi bagian dari masalah, bukan bagian dari solusi. Tidak sedikit guru mengajarkan kebohongan justru di sekolah. Sing jujur malah ajur. Guru lebih mengharapkan jawaban yang benar dari murid-muridnya, bukan jawaban yang jujur. Menyontek dianggap biasa. Banyak kekerasan justru terjadi di sekolah secara fisik maupun non-fisik. Guru lebih mudah marah bila murid datang tidak berseragam daripada jika ia tidak membawa buku. 

Sekolah hanya tempat guru mengajar, bukan tempat murid belajar. Sekolah menjadi penjara, ruang yang sempit bagi ekspresi multi-ranah dan multi-cerdas murid. Boleh dikatakan tidak banyak kompetensi yang bisa dipelajari di sekolah. Kreativiti dimatikan, penjelajahan gagasan-gagsan baru tidak terjadi. Proses pembelajaran diabdikan untuk tes dan drills kognitif pilihan-ganda bertubi-tubi, serta formalisme kronis telah membuat sekolah kehilangan joyfull learning and teaching. Karakter siswa terbengkalai kalau bukan dihancurkan justru di sekolah. Belajar hampir tidak pernah lagi bermakna bagi murid. Alih-alih menjadi solusi, sekolah saat ini adalah bagian dari masalah pendidikan. Semakin lama bersekolah justru semakin tidak mandiri, semakin mudah menganggur. Jumlah pengangguran sarjana meningkat tajam. Dalam tataran ini, mustahil proses pendidikan dapat digunakan untuk mengubah individu, yang terjadi justru pendidikan menjadi mekanisme reproduksi sosial. Substansi pendidikan yang tidak didasarkan pada kebutuhan masyarakat adalah proses pendidikan yang percuma, tidak memberi banyak manfaat bagi masyarakat, kemudian pendidikan yang dimanifestasikan dalam institusi sekolah hanyalah sebuah candu (Topatimasang, 1999). 

Pada dasarnya pendidikan bertujuan mempersiapkan siswa dengan kemampuan-kemampuan tertentu yang dibutuhkannya untuk menghadapi masa yang akan datang (opportunity.  Pendidikan yang diterapkan seharusnya berbasis pada proses pendidikan kritis yang membebaskan, yang pada akhirnya mampu menghasilkan manusia kritis, sadar mengenai realitas sosial yang ada di sekitarnya. Pendidikan kritis tidak akan menghasilkan manusia bodoh, tidak ada dikotomi bodoh dan pintar, yang ada adalah manusia yang unik, tidak ada manusia yang sama, setiap manusia pasti memiliki keunikan tersendiri. Keunikan inilah yang menyebabkan setiap individu memiliki kebutuhan yang berbeda-beda, tugas sekolah seharusnya memfasilitasi berkembangnya keunikan tersebut. Pendidikan kritis akan menghasilkan manusia kritis yang mampu mengubah dirinya menuju keadaan yang lebih baik. Praktik pendidikan sejatinya merupakan pendidikan kritis yang membebaskan, bukan pendidikan yang memaksakan. 

Pendidikan jelas bukan sekedar persekolahan. Pendidikan tidak ada kaitannya dengan lamanya seseorang bersekolah. Wajib belajar tidak sama dengan wajib sekolah.  Kesuksesan sebuah sistem pendidikan diukur dari kemampuannya untuk mempersiapkan siswa menghadapi dunia yang dihadapainya kelak dimasa yang akan datang. Krisis lahir saat kita gagal membedakan keduanya. Kesalahan terbesar sekolah adalah berusaha terlalu keras untuk memberi pesan dan kesan sebagai satu-satunya tempat belajar. Kita lupa bahwa sekolah hanyalah sebuah instrumen untuk mencapai tujuan pendidikan, bukanlah tujuan dari pendidikan.  


sumber :
Pritchett, Lant. 2013. The Rebirth of Education: Schooling Ain't Learning. Washinghton : Center for development
Rasyid, Daniel. 2013. Belajar bukan sekolah. Dapat dilihat di www.danierasyid.com 

Guru Baru, bukan Kurikulum Baru

Melihat potret pendidikan kita selama paling tidak satu dekade ini, sulit untuk tidak mengatakan bahwa pendidikan kita saat ini sesungguhnya dalam krisis. Setelah hasil Uji Kompetesni Guru jeblog, lalu rangkaian tawuran melanda sekolah dan kampus dengan korban tewas berjatuhan,
belum lagi hasil evaluasi internasional yang menempatkan kinerja pendidikan Indonesia di papan bawah, Kemendikbud merespons dengan ide merombak kurikulum.

Salah satu yang banyak dikeluhkan walimurid adalah kurikulum yang overloaded, pembelajaran yang direduksi menjadi drills dan try-outs dengan tes-tes berformat pilihan-ganda yang dilakukan bahkan jauh sebelum Ujian. Kemudian anak-anak ini harus les berbayar hingga malam. Begitulah pendidikan di sekolah-sekolah sudah terdisorientasi hanya sekedar untuk menguasai kompetensi tingkat rendah yang tidak penting bagi kehidupan abad 21. 

Sementara pembelajaran sudah menjadi sekedar strategi untuk lulus ujian, guru semakin mengalami krisis kepercayan dari murid-muridnya sendiri saat mereka sibuk di berbagai lembaga "bimbingan tes". Krisis ini memperparah kenyataan bahwa guru telah dibiarkan lama terbengkalai bertahun-tahun, dan upaya perbaikan guru tidak dilakukan dengan sungguh-sungguh. Kemudian guru kehilangan kepercayaan dari Pemerintahnya sendiri saat kewenangan penentuan kelulusan murid-muridnya dirampas untuk diserahkan pada mesin pemindai Ujian Nasional yang dikoordinasikan oleh Jakarta. Berikutnya adalah sekolah kehilangan kepercayaan bahkan dari murid-muridnya sendiri saat mereka harus berpaling ke lembaga-lembaga kursus untuk lulus Ujian Nasional, padahal kebocoran soal UN terjadi di mana-mana. 

Saat sekolah mulai kehilangan kepercayaan dari masyarakatnya, Kemendikbud justru merancang pembelajaran yang semakin lama di sekolah. Dengan guru seburuk saat ini, dan sarana belajar seterlantar saat ini, berlama-lama di sekolah justru semakin buruk bagi murid. IKIP sudah sepuluh tahun lebih tidak yakin lagi untuk focus pada khittahnya mendidik calon guru Indonesia. Kemudian IKIP berubah menjadi universitas, mengurusi bidang-bidang non-kependidikan yang sudah diurus oleh unversitas lain yang sudah bertahun-tahun lebih dulu menekuninya. Sebelum menjadi universitas, IKIP dalam kondisi hidup segan mati tak mau, dan setelah menjadi unversitas
kematiannya diresmikan. Sementara itu, di luar kelaziman, sertifikasi guru telah berlangsung dilakukan oleh LPTK eks-IKIP. Padahal sebagai profesi, pembinaan guru seharusnya diserahkan pada organisasi profesi guru. Best practice nya demikian untuk profesi-profesi lain seperti dokter, insinyur, arsitek, pengacara dan akuntan. Sertifikasi guru harus dilakukan oleh organisasi profesi guru, bukan oleh LPTK, apalagi Pemerintah. Untuk menjadi profesi yang terpercaya, guru harus disertifikasi oleh lembaga yang independen dan mandiri agar guru tidak mudah dipolitisasi dan diintimidasi oleh birokrasi dan partai politik. Organisasi profesi guru inilah yang menetapkan kode etik guru dan menegakkan etika profesi guru.

Dalam situasi banyak guru yang bermental pegawai, tidak mandiri dan tidak kompeten, serta sarana sekolah yang seadanya, pergi ke sawah membantu ayah bercocok tanam, atau melaut mencari ikan jelas lebih berguna daripada ke sekolah. Lebih banyak yang bisa dipelajari anak di alam terbuka daripada di ruang-ruang kelas yang sempit, kumuh dan bocor : keberanian, kepatuhan, ketrampilan, dan kecintaan pada lingkungan. Menghadapi guru dengan mentalitas pegawai, murid-murid itu justru belajar menjadi penakut, sementara kreativitinya dikerdilkan. Kita membutuhkan guru baru, bukan kurikulum baru. Kurikulum terbaik sekalipun pasti akan gagal di tangan guru yang tidak kompeten. Sebaliknya, di tangan guru yang kompeten, kurikulum yang sederhana akan menghasilkan proses belajar yang bermutu.

Patut disesalkan jika alih-alih secara konsisten memberi kepercayaan dan menguatkan profesi guru, Kemendikbud justru bermain-main dengan otak-atik kurikulum baru, sementara kurikulum yang sebelumnya (Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan -KTSP) tidak dievaluasi secara transparan dan akuntabel. Kurikulum yang dialami (learned curriculum) murid tidak pernah bisa lebih baik dari mutu guru yang melaksanakannya. Tentu jelas otak-atik kurikulum jauh lebih mudah dilakukan daripada memperbaiki mutu guru dan menjadikannya sebagai profesi yang independen. Kurikulum yang terbaik bagi anak adalah kehidupan seharihari yang meneladankan cara hidup yang baik di luar sekolah : sehat, jujur, adil dan produktif. Sesungguhnyalah belajar bertujuan hanya satu : memperbaiki praktek kehidupan sehari-hari, membentuk tradisi baru yang lebih baik. Jika belajar adalah perayaan atas kehidupan anugerah Tuhan, maka belajar akan membentuk budaya baru sebagai proses memaknai kehidupan. Anak petani menjadi petani yang lebih baik dari ayahnya. Anak nelayan menjadi nelayan yang lebih baik dari ayahnya. Perempuan muda menjadi ibu yang lebih baik dari ibunya. Jika kita mengharapkan sebuah bonus demografi dalam beberapa dekade mendatang ini, perombakan besar pada filosofi, tata kelola, kebijakan, dan program pendidikan perlu dengan berani dilakukan. Di zaman internet ini, belajar semakin tidak memerlukan sekolah. Yang kita perlukan adalah sebuah jejaring belajar (learning webs) yang lentur dan luwes di mana pembelajar bisa belajar di mana saja dan kapan saja serta dengan siapa saja sebagai bagian dari hidup berbudaya. Pendidikan universal tidak mungkin dilakukan melalui pendekatan persekolahan belaka. Jika guru tidak berubah, dia akan menjadi dinosaurus, negeri ini akan menjadi Jurassic Park.

Sumber :
Rosyid, Daniel. 2014. Belajar, bukan sekolah : Agenda deschooling untuk Indonesia.



Senin, 30 Mei 2016

Mengapa orang tua kurang menghormati guru?


Banyak orang tua yang ramah, mendukung, dan bersemangat untuk bekerja dengan guru untuk memastikan anak-anak mereka mendapatkan pendidikan yang terbaik. Tapi ada sejumlah besar dari orang tua yang tampaknya memiliki masalah dengan guru. Mereka tidak menunjukkan penghormatan, dan tidak selalu terlibat banyak dengan guru. Penasaran dengan kondisi ini, saya mencoba mencari alasan penyebab kurangnya rasa hormat untuk guru?

Menurut learningcraft.com, kurangnya rasa hormat terhadap guru bisa terjadi dikarenakan hal-hal berikut :  

Status
Pada masa lalu guru adalah orang yang paling terpelajar di masyarakat. Belum banyak orang tua yang terpelajar dan lulus universitas, sehingga pengaruh guru terhadap pendidikan sangat kuat.
Saat ini tidaklah demikian. Orang tua siswa adalah orang yang terpelar dan sudah banyak yang lulus dari universitas. Mereka juga banyak yang berpengaruh dalam masyarakat. Guru tidak lagi memiliki pengaruh yang besar dalam kehidupan mereka. Para orang tua ada yang bekerja pagi sampai malam, tidak seperti guru yang hanya bekerja pagi sampai siang ( begitulah anggapan mereka, padahal guru itu mengajar selama 24 ) dan hanya dalam ruang kelas yang nyaman. Para orang tua menuntut tanggung jawab dan kerja keras yang lebih untuk pendidikan mereka. Hal yang sebenarnya tidak bisa mereka lakukan tanpa kehadiran guru. 

Attitude
Sikap orang tua telah mengalami perubahan. Pada masa lalu , jika Anda mendapat masalah di sekolah misalnya masalah disiplin atau nilai rendah, Anda tidak hanya mendapat nasehat atau teguran dari guru ( jika sangat buruk oleh kepala sekolah), Anda mungkin mendapatkan nasihat atau teguran dua kali lebih banyak di rumah. Saat ini, tidaklah demikian. Sekarang banyak orang tua dengan asumsi bahwa anak kesayangannya pasti benar, dan oleh karena itu jika anak tidak disipin dan mendapatkan nilai yang rendah, pasti gurunyalah yang salah. Jadi mereka merasa berhak untuk menyerang dan menyalahkan guru.
Penyebab kondisi ini sangat kompleks. Pertama, orang tua tertekan dari segi waktu. Seringkali kedua orang tua harus bekerja, atau ada orang tua tunggal (single parents) yang bekerja sendiri. Orang tua harus berbuat lebih banyak untuk memenuhi kebutuhan. Hasilnya adalah orang tua seringkali kekelahan dan menekan banyak kemarahan mereka tidak memiliki kesabaran untuk melihat lebih dalam apa yang terjadi dengan anak-anak mereka.  Memang , bagian dari reaksi berlebihan mereka mungkin karena rasa bersalah . Karena mereka tidak menghabiskan cukup waktu dengan atau pada anak-anak mereka, dan mencoba menjadi orang tua yang baik dengan membela anak mereka dihadapan guru.   

Pemahaman
Orang tua tidak benar-benar memahami apa yang dilakukan guru. Karena orang tua telah berkunjung ke sekolah lima atau enam kali, mereka menganggap memahami apa yang telah terjadi di dalam kelas. Orang tua hanya tahu bahwa guru hanya mengajar, membuat rencana pembelajaran, dan menilai. Mereka juga berpikir bahwa guru hanya mengajar dari pagi hingga siang kemudian memiliki banyak hari libut. Tentu saja, jika sebagian besar orang tua yang mencoba mengaja selama beberapa minggu, perspektif mereka mungkin berubah, tapi kemungkinan itu terjadi cukup tipis. 

Politik 
Politik juga bisa menjadi penyebab mengapa guru tidak mendapat penghargaan yang layak. Dahulu pendidikan jauh dari kepentingan politik.  Saat ini, politik menjadi tuannya pendidikan. Pendidikan dimanfaatkan menjadi alat untuk mencapai sebuah tujuan individu atau golongan tertentu. Sebagian besar birokrat saat ini telah using dan hanya baik dalam ide-ide dan teori, tapi dangkal dalam pengalaman actual. Terlalu sering mereka mengikuti informasi dari orang-orang bodoh yang tidak mengerti tentang pendidikan.
Lebih buruk lagi, ketika sistem pendidikan salah maka semua akan mencarai kambing hitam. Para guru menjadi sasaran yang mudah karena guru tidak pernah keberatan terhadap apapun yang dilakukan oleh kementrian pendidikan. Guru hanya taat dan patuh mengikuti apa yang telah diciptakan oleh pemerintah. Kondisi ini menjadi langkah strategi politik yang mudah untuk menjadikan guru sebagai kambing hitam seluruh persoalan pendidikan dengan melabeli guru kata-kata malas dan tidak kompeten, padahal sesungguhnya merekalah yang bodoh karena mendengar pendapat dari orang-orang yang tidak mengerti tentang pendidikan.

Sabtu, 28 Mei 2016

Memahami Kecerdasan Majemuk - Menjangkau Semua Anak

Berawal dari riset yang dilakukan oleh Howard Garder melalui project Zero untuk melihat potensi manusia. Howard Gardner dengan serius mempertanyakan keabsahan penilaian potensi individu melalui tes-tes yang dinyatakan dalam satu angka atau nilai "IQ". Menurutnya penafsiran kecerdasan di masyarakat kita terlalu sempit. Gardner menyatakan bahwa kecerdasan lebih berkaitan dengan kapasitas (1) memecahkan masalah dan (2) menciptakan produk di lingkungan yang kondusif dan alamiah. Gardner memetakan lingkup kemampuan manusia yang luas menjadi delapan kategori yang komprehensif atau delapan “ kecerdasan dasar”.

Dongeng yang terdapat di buku In the own way: Discovering and encouraging your child’s multiple intelligences (1987) karya Thomas Armstrong berikut, menarik untuk memahami terori kecerdasan majemuk temuan Howard Gardner. Menyadari dan mengembangkan dan mengembangkan semua ragam kecerdasan dan kombinasi-kombinasinya adalah hal yang terpenting. Dengan menyadari hal ini, setidaknya kita lebih punya peluang menangani berbagai masalah yang kita hadapi di dunia ini dengan baik. Dengan mempercayainya kita sepakat, bahwa semua anak adalah anak yang berbakat. Tiap-tiap anak terlahir ke dunia dengan potensi yang unik, yang jika dipupuk dengan benar dapat turut memberikan sumbangan bagi dunia yang lebih baik.  Tantangan terbesar bagi orang tua dan guru adalah menyingkirkan batu besar yang menghalangi jalan mereka dalam menemukan, mengembangkan, dan merayakan anugerah yang mereka miliki itu. selamat membaca dan menarik makna. 


Suatu ketika terbetiklah sebuah kabar yang menggegerkan langit dan bumi. Kabar itu berasal dari dunia binatang. Menurut cerita itu, para binatang besar ingin membuat sekolah untuk para binatang kecil. Mereka para binatang besar itu, berencana menciptkan sebuah sekolah yang didalamnya akan diajarkan mata pelajaran memanjat, terbang, berlari, berenang, dan menggali.

Anehnya, mereka tidak dapat mengambil kata sepakat tentang subjek mana yang paling penting. Mereka akhirnya memutuskan agar semua murid mengikuti seluruh mata pelajaran yang diajarkan. Jadi, setiap murid harus mengikuti mata pelajaran memanjat, terbang, berlari, berenang, dan menggali.
Sekolah pun dibuka dan menerima murid dari pelbagi pelosok hutan. Pada saat-saat awal dikabarkan bahwa sekolah berjalan lancer. Seluruh murid dan pengajar di sekolah itu menikmati segala kebaruan dan keceriaan. HIngga tibalah pada suatu hari yang mengubah keadaan sekolah itu.

Tersebutlah salah satu murid bernama kelinci. Kelinci jelas adalah binatang yang piawai berlari. Ketika mengikuti kelas berenang, kelinci ini hampir tenggelam. Pengalaman memgikuti kelas berenang ternyata mengguncang batinnya. Lantaran sibuk mengurusi pelajaran berenang, si Kelinci ini pun tak pernah lagi dapat berlari secepat sebelumnya.
Setelah kasus yang menimpa kelinci, ada kejadian lain yang cukup memusingkan pengelola sekolah. Ini melanda murid lain bernama Elang. Elang, jelas sangat pandai terbang. Namun, ketika mengikuti kelas menggali, si Elang ini tidak mampu menjalankan tugas-tugasa yang diberikan kepadanya. Akhirnya, ia pun harus mengikuti les perbaikan menggali. Les itu ternyata menyita waktunya sehingga ia pun melupakan cara terbang yang sebelumnya sangat dikuasainya.

Demikianlah kesullitan demi kesulitan ternyata melanda juga ke diri binatang kain seperti bebek, burung pipit, bunglon, ular dan binatang kecil lain. Pada binatang kecil itu tidak mempunyai kesempatan lagi untuk berprestasi dalam bidang keahlian mereka masing-masing. Ini lantaran mereka dipaksa melakukan hal-hal kecil yang tidak menghargai sifat alami mereka.

Sumber bacaan :
Armstrong, Thomas. 2004. Menerapkan multiple intelligences di sekolah. Jakarta : PT. Mizan Pustak 
Gardner, Howard. 1993. Multiple Intelligences : The theory in practice. New York : Basic Books

Kombinasi Berbagai cara Menyampaikan Pembelajaran

  Ragam cara melaksanakan pembelajaran: ceramah, kegiatan individu, dan kegiatan kelompok. Dalam melaksanakan pembelajaran, berbagai kombina...